ROMA | Priangan.com – Bayangkan sebuah negara memberikan hukuman kepada warganya dengan dijahit hidup-hidup ke dalam karung bersama hewan-hewan liar, lalu dilempar ke sungai. Kedengarannya seperti kisah fiksi, bukan? Tapi hukuman ini benar-benar pernah ada.
Bangsa Romawi Kuno dikenal dengan cara mereka menghukum yang tidak hanya kejam, tapi juga sarat makna simbolis. Salah satunya adalah ‘Poena cullei’, atau ‘hukuman karung’.
Hukuman ini diberikan kepada mereka yang membunuh orang tuanya sendiri. Dalam masyarakat Romawi, ini adalah kejahatan yang dianggap sangat menjijikkan.
Dalam pelaksanaannya, terpidana dimasukkan ke dalam karung bersama beberapa hewan hidup, lalu dilempar ke sungai hingga tenggelam.
Filsuf Jerman, Erich Fromm, pernah mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang suka menyakiti sesamanya tanpa alasan biologis atau sosial yang jelas. Meski demikian, hukuman seperti ini dulu dianggap sah demi melindungi masyarakat.
Keluarga adalah inti masyarakat. Sang ayah, atau pater familias, memegang kuasa penuh atas anggota keluarganya, baik dalam hukum maupun kehidupan sehari-hari. Karena itu, membunuh ayah dianggap tidak hanya pengkhianatan pribadi, tapi juga ancaman bagi tatanan sosial.
Dalam Hukum Dua Belas Tabel (Lex duodecim tabularum) yang disusun abad ke-5 SM, pembunuhan terhadap orang tua dinilai sebagai kejahatan besar. Seiring waktu, cakupan hukumnya pun diperluas.
Lucius Cornelius Sulla, seorang konsul dan diktator Romawi, memperluas definisi parricide ke kerabat lainnya. Dalam Lex Pompeia de parricidiis (55 SM), korban bisa termasuk orang tua tiri, kakek-nenek, saudara, pasangan, menantu, bahkan majikan.
Jika korban tidak termasuk kategori itu, pelaku dihukum dengan Lex Cornelia de sicariis et veneficiis, hukum umum untuk pembunuhan.
Modestinus, ahli hukum abad ke-3 M, mencatat bahwa Lex Pompeia juga berlaku bagi orang tua yang membunuh anaknya.
Asal-usul poena cullei masih diperdebatkan. Beberapa menyebutnya bermula pada masa monarki Roma, saat pendeta Marcus Atilius dihukum karena membuka rahasia kitab suci Sibylline dan membunuh ayahnya.
Plutarch mencatat pembunuhan ayah pertama dilakukan oleh Lucius Hostius, meskipun metode hukumannya tidak dijelaskan. Baru pada abad ke-3 SM hukuman bagi pembunuh orang tua mulai dikembangkan.
Penyair Plautus bahkan pernah menyelipkan lelucon tentang hukuman ini dalam dramanya. Salah satu kasus terkenal adalah Publicius Maleolus yang membunuh ibunya sekitar tahun 100 SM. Ia dijahit ke dalam karung dan dilempar ke sungai.
Rhetorica ad Herennium, risalah retorika abad ke-1 SM, menyebut kepala Maleolus ditutupi kulit serigala dan ia memakai bakiak kayu. Tujuannya, memisahkannya dari dunia luar.
Namun Cicero dalam De Inventione menyebutkan bahwa yang digunakan adalah kulit biasa. Dalam pidatonya membela Sextus Roscius, ia juga mengkritik keras praktik ini.
Suetonius menyebut bahwa Kaisar Augustus secara resmi melegalkan poena cullei, meskipun praktiknya sudah lebih dulu ada. Pada masa Kaisar Claudius, praktik ini bahkan lebih sering digunakan daripada hukuman salib.
Puncaknya terjadi di masa Nero, yang membunuh ibunya sendiri, Agrippina. Suetonius mencatat adanya patung Nero terbungkus karung bertuliskan, “Saya melakukan apa yang saya bisa. Tetapi Anda pantas dipecat!”.
Hukuman ini bukan sekadar eksekusi, tapi juga ritual simbolis. Sebelum dimasukkan ke karung, pelaku dicambuk dengan tongkat merah darah (virgae sanguinae), lalu kepala dan kaki ditutup sebelum dijahit ke dalam karung.
Pada masa kekaisaran, hewan mulai ditambahkan. Ayah Seneca mencatat adanya ular berbisa, lambang pengkhianatan. Juvenal menyebutkan penambahan monyet, ayam jantan, dan anjing sebagai simbol kegilaan, kekerasan, dan kehinaan.
Lalu, di masa Hadrian, dua lembu hitam menarik kereta pelaku ke sungai, melambangkan pengasingan dari bumi dan kehinaan abadi.
Meski begitu, pada masa Hadrian, poena cullei mulai ditinggalkan. Alternatif seperti penguburan hidup-hidup mulai digunakan.
Kaisar Konstantinus menghidupkan kembali hukuman ini dan menambahkan ayam jantan serta anjing. Konstantius dan Konstans bahkan memasukkan pelaku zina ke dalam hukuman ini.
Justinian mencatat ritual ini secara lengkap dalam Corpus iuris civilis. Namun pada abad ke-9, hukuman ini diganti dengan tiang pancang.
Di Abad Pertengahan, praktik ini muncul kembali. Di Kastilia abad ke-13, hukuman ini disebut dalam Siete Partidas, meski sering hanya simbolis.
Di Jerman, praktik ini bertahan lebih lama. Dalam Sassen Speyghel abad ke-12, hewan digambarkan di atas kertas dan dimasukkan ke dalam karung linen agar pelaku cepat tenggelam.
Namun di Dresden, digunakan karung berlapis ter untuk memperpanjang siksaan. Sayangnya karung itu pecah di air dan membebaskan hewan di dalamnya. Terpidana tetap dihukum mati.
Kasus terakhir tercatat pada 1734 di Saxony, atau mungkin 1749 di Zittau. Pada tahun 1761, poena cullei resmi dihapuskan dan menjadi bagian kelam dari sejarah hukum. (LSA)