PGHB: Akar Perjuangan Martabat Guru di Indonesia

JAKARTA | Priangan.com – Di tengah realitas ketika pendidikan masih diwarnai ketimpangan antara guru Eropa dan guru bumiputra di masa kolonialisme, para pendidik pribumi mulai menyadari perlunya sebuah wadah bersama yang mampu memperjuangkan martabat dan hak mereka sebagai tenaga pengajar.

Sejak pemerintah Hindia Belanda mulai membuka sekolah-sekolah bagi penduduk bumiputra pada 1901, kebutuhan akan guru meningkat pesat. Pemerintah awalnya mempertimbangkan mendatangkan guru dari Belanda, namun biaya yang besar dan kebutuhan guru Eropa yang lebih difokuskan untuk anak-anak elite membuat rencana itu dibatalkan.

Sehingga, pemerintah membuka sekolah pendidikan guru, seperti kweekschool (KS) dan hoogere kweekschool (HKS), untuk menyiapkan guru berkualifikasi lebih tinggi. Namun kenyataannya, sebagian besar guru bumiputra masih berasal dari pendidikan yang jauh lebih rendah, yaitu sekolah kelas dua.

Guru lulusan sekolah kelas dua adalah tenaga pendidik yang berasal dari sistem sekolah dasar untuk masyarakat umum yang kualitas kurikulumnya lebih sederhana dibanding sekolah kelas satu yang diperuntukkan bagi kaum priyayi. Lulusan jenjang ini tidak mendapatkan pelatihan guru yang setara dengan KS atau HKS, sehingga status dan gajinya jauh di bawah guru berpendidikan lebih tinggi.

Menurut Historia.id, penghasilan mereka bahkan tidak mencapai f.50 per bulan, jumlah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Perbedaan pelatihan ini menyebabkan kesenjangan mencolok dalam struktur profesi guru, sekaligus menjadi sumber keluhan terbesar di kalangan guru bumiputra.

Di tengah ketidakadilan ini, muncul dorongan untuk membangun solidaritas. Pada November 1911, sejumlah guru lulusan kweekschool (KS) di Yogyakarta, Magelang, dan Bondowoso mulai berdiskusi tentang pentingnya organisasi yang bisa menjadi ruang perjuangan. Salah satu tokoh sentralnya adalah Mas Ngabehi Dwidjosewojo, guru bahasa Jawa di Kweekschool Yogyakarta sekaligus mantan sekretaris Kongres Boedi Oetomo. Dari diskusi inilah lahir gagasan membentuk persatuan guru yang lebih terstruktur dan representatif.

Lihat Juga :  Pertempuran Quebec, Titik Balik Kuasa Inggris di Amerika Utara

Gagasan tersebut terwujud pada 1 Januari 1912 melalui berdirinya Persatuan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) yang menjadi organisasi guru pribumi pertama yang berhasil menghimpun tenaga pengajar dari berbagai tingkatan—dari guru bantu, guru desa, hingga kepala sekolah rakyat.

Organisasi ini dipimpin oleh Karto Hadi Soebroto sebagai ketua dan Dwidjosewojo sebagai sekretaris. Kehadirannya menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya para guru memiliki wadah formal untuk memperjuangkan kesejahteraan, memperbaiki fasilitas pengajaran, dan meningkatkan kualitas pendidikan untuk masyarakat.

Lihat Juga :  Revolusi Bolshevik 1917: Lahirnya Negara Komunis Pertama di Dunia

Pergerakan PGHB berkembang dengan cepat. Pada 1912, Dwidjosewojo menggagas pembentukan lembaga asuransi bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB, yang kemudian dikenal sebagai Asuransi Boemiputera. Dalam tahun yang sama PGHB telah memiliki lebih dari seribu anggota dan 25 cabang. Jumlah yang cukup untuk menjadi kekuatan sosial yang didengar oleh pemerintah kolonial.

Pada akhir tahun yang sama, perwakilan PGHB bertemu dengan G.A.J. Hazeu, direktur pendidikan pemerintah kolonial, untuk meminta kenaikan gaji guru bumiputra. Setahun kemudian, permintaan itu dikabulkan, meski besarannya tidak merata.

Kebijakan itu berakhir menimbulkan persoalan baru. Sebagian guru merasa kesenjangan antara guru lulusan sekolah kelas dua dan lulusan kweekschool tetap jauh. Dilansir dari Kompas, persoalan ini diperparah oleh sentralisasi organisasi di Jawa yang membuat guru dari daerah lain merasa kurang terwakili.

Ketegangan tersebut memicu perpecahan pada 1919, ketika lahir sejumlah organisasi baru seperti Persatuan Guru Pasundan, Persatuan Guru Bantu, dan Perserikatan Guru Desa.

Terlepas dari perpecahan itu, semangat memperjuangkan posisi guru tetap menyala. Pada 1932, tercatat sebanyak 32 organisasi bergabung kembali dan membentuk Persatuan Guru Indonesia (PGI). Nama “Indonesia” menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda karena menunjukkan keberanian politis yang kuat. Meskipun Jepang kemudian membubarkan semua organisasi guru pada masa pendudukan, gerakan persatuan tidak pernah benar-benar padam.

Lihat Juga :  Sejarah Pembentukan Korps Marinir TNI AL

Setelah kemerdekaan, kebangkitan itu mencapai puncaknya melalui Kongres Guru Indonesia pada 23–25 November 1945 di Surakarta. Guru-guru dari berbagai penjuru tanah air kembali bersatu dan mendirikan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), membawa semangat baru untuk mempertahankan negara, meningkatkan mutu pendidikan, dan memperjuangkan hak guru.

Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa PGHB bukan sekadar organisasi guru pertama, tetapi juga fondasi awal dari kesadaran kolektif bahwa guru memiliki hak, martabat, dan peran strategis dalam kehidupan bangsa. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos