KAB. TASIKMALAYA | Priangan.com – Kopi adalah salah satu minuman yang banyak digemari oleh berbagai kalangan. Tua muda pasti mengenal dan pernah menikmati sajian beraroma khas ini, baik di rumah, di kantor, maupun di kedai- kedai kopi yang saat ini tengah menjamur di banyak wilayah.
Maka tak ayal, kalau kopi menjadi salah satu komoditas yang cukup menjanjikan. Banyak petani di luar sana yang berhasil mengembangkan potensi kopi lokal menjadi produk bernilai tinggi. Salah satunya adalah pemuda yang satu ini, petani milenial asal Kampung Bunihurip, Desa Sukapada, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya.
Adalah Dani Muhammad Yasin, pria berusia 32 tahun ini dikenal karena keberhasilannya mengangkat nama kopi Bunar asal Kabupaten Tasikmalaya. Semangatnya dalam membina petani dan membangun ekosistem kopi membuat kampung kecil di lereng pegunungan yang cukup dingin itu tak lagi terdengar asing bagi para pecinta kopi di Jawa Barat.
Perjalanan Dani dimulai pada 2017. Saat itu, ia mengaku masih bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi. Dari balik mesin espresso dan gelas saji, Dani memandang kopi bukan sekadar minuman, namun menjadi peluang usaha yang amat potensial. Ia melihat geliat industri kopi yang semakin menggeliat, sementara di kampung halamannya, potensi kopi lokal justru belum tergarap maksimal.
“Di kampung saya banyak petani kopi. Tapi pada saat itu belum tergarap dengan baik. Maka berangkat dari situlah saya ingin lebih dalam terjun dan mengembangkan biji kopi asal Bunar,” kata Dani, saat ditemui di sela-sela aktivitasnya, Rabu, 23 Juli 2025.
Sejak saat itu, Dani mengaku dorongan untuk kembali ke tanah kelahiran pun semakin kuat. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang dan mulai membangun usaha dari nol. Ia menggandeng para petani di Bunihurip yang sejak 2012 sudah mulai menanam kopi, namun belum mampu mengelola hasil panen secara optimal. Dani pun turun langsung membina mereka. Ia mengajarkan cara panen yang tepat, cara fermentasi yang benar, hingga teknik pascapanen untuk menghasilkan green bean berkualitas tinggi.
Hasilnya mulai terasa. Perlahan tapi pasti, lahan perkebunan kopi di Bunihurip yang sebelumnya hanya lima hektare kini berkembang menjadi 25 hektare. Produksi pun meningkat tajam. Dalam setahun, kelompok tani yang ia bina mampu menghasilkan antara 20 hingga 30 ton biji kopi.
“Yang saya dorong sejak awal itu bukan cuma hasil panen, tapi juga kualitas dan kesinambungan. Petani harus tahu bagaimana mengolah kopi dari kebun hingga siap jual,” tegasnya.
Tak berhenti sampai budidaya, Dani juga menjembatani proses distribusi dan pemasaran. Green bean yang dihasilkan petani ditampung olehnya dengan harga yang layak. Hal ini dilakukan untuk memberikan rasa aman bagi petani dalam urusan pemasaran, karena tidak perlu lagi bergantung pada tengkulak.
Keuntungan yang didapat dari penjualan kopi pun tidak hanya dinikmati secara individu. Sebagian hasilnya, disisihkan untuk kepentingan sosial. Dani menyebut, sekitar lima hingga lima belas persen dari transaksi dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur desa hingga pemberian insentif bagi guru ngaji yang berperan besar dalam pendidikan keagamaan anak-anak kampung.
“Kalau usaha ini berkembang, saya ingin manfaatnya bisa dirasakan seluas mungkin. Bukan cuma petani, tapi juga masyarakat sekitar,” tuturnya.
Sampai saat ini, Kopi Bunar mulai dikenal di berbagai daerah di Jawa Barat. Produk hasil olahan kelompok tani Bunihurip itu telah masuk ke pasar-pasar kopi lokal dan diterima dengan baik oleh para penikmat kopi spesialti. (wrd)