Den Haag | Priangan.com – Pembacaan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya. Pasca proklamasi, bangsa ini masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di tingkat internasional.
Ada banyak cara yang dilakukan. Salah satunya lewat upaya diplomasi. Sebagai negara baru, diplomasi menjadi senjata utama dalam menghadapi tekanan politik dan militer dari Belanda yang ingin mempertahankan kendali atas bekas jajahannya. Salah satu upaya penting dalam perjuangan ini adalah Perundingan Hoge Veluwe yang berlangsung pada April 1946.
Berlangsung di Hoge Veluwe, dekat Den Haag, perundingan ini menjadi momen penting dalam hubungan diplomasi Indonesia-Belanda. Digelar pada 14 hingga 24 April 1946, pertemuan tersebut membahas isu-isu krusial seperti status kenegaraan, wilayah, dan kedaulatan Indonesia.
Namun sayang, hasilnya tidak seperti apa yang diharapkan. Pada saat itu, delegasi Indonesia yang terdiri dari tokoh-tokoh penting seperti Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, berharap perundingan ini menghasilkan pengakuan kedaulatan. Namun, delegasi Belanda, yang diwakili oleh Dr. Van Royen dan Sultan Hamid II, datang dengan pandangan yang jauh berbeda.
Sejak awal, perbedaan mendalam antara kedua pihak telah terlihat. Bagi Indonesia, perundingan ini merupakan langkah penting menuju pengakuan kedaulatan penuh. Sebaliknya, Belanda justru memandangnya sebagai diskusi awal tanpa komitmen. Salah satu hambatan utama adalah keberatan Belanda terhadap pengakuan kesetaraan Indonesia sebagai mitra sejajar, karena hal ini bertentangan dengan pandangan mereka yang masih menganggap Indonesia sebagai wilayah kolonial.
Perundingan ini dilandasi oleh konsep yang dikenal dengan Batavia Concept atau Draft Jakarta. Dokumen ini dirumuskan berdasarkan hasil diskusi sebelumnya antara Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir, dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda de facto, Hubertus Johannes Van Mook. Draft tersebut mencakup empat poin penting, termasuk pengakuan de facto terhadap kekuasaan Republik Indonesia di Jawa dan Sumatra, serta gagasan mengenai struktur federal dan masa peralihan.
Dalam pelaksanaannya, perundingan Hoge Veluwe gagal karena ada sederet penyebab lain, seperti situasi politik internal di Belanda. Friksi dalam parlemen Belanda, terutama dari Fraksi Partai Katolik, memperburuk posisi negosiasi. Pemilu pascaperang di Belanda menambah kerumitan karena sejumlah politisi khawatir kalau kompromi dengan Indonesia dapat memengaruhi hasil pemilu.
Akhirnya, perundingan berakhir tanpa kesepakatan. Pihak Belanda tetap bersikeras mempertahankan otoritasnya, sementara delegasi Indonesia kecewa karena perjuangan mereka sia-sia. Namun, meski gagal, perundingan Hoge Veluwe ini menjadi bagian dari sejarah perjuangan Indonesia. Perundingan tersebut menunjukkan betapa kompleksnya proses diplomasi yang harus ditempuh oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan sepenuhnya.
Tercatat, baru dalam Perundingan Linggajati, Indonesia mendapat pengakuan de facto meski dalam batasan-batasan tertentu. (ersuwa)