WASHINGTON D.C | Priangan.com – Perang Saudara Amerika membawa penderitaan yang luar biasa, terutama bagi mereka yang ditahan di kamp-kamp penjara. Tempat-tempat seperti Johnson’s Island, Camp Douglas, Elmira, Belle Isle, Salisbury, dan Andersonville menjadi saksi bisu atas penderitaan dan kematian puluhan ribu tawanan perang.
Kamp-kamp ini berkembang di tengah konflik berkepanjangan, mencerminkan kerasnya kebijakan kedua belah pihak.
Pada awal perang, status hukum para tawanan perang menjadi perdebatan. Pemerintah Union memilih mengakui tawanan Konfederasi sebagai tahanan perang, bukan pemberontak atau bajak laut.
Kesepakatan informal mengenai pembebasan bersyarat dan pertukaran tahanan mulai diterapkan. Namun, banyak kendala yang menghadang.
Kongres AS pada Desember 1861 mengeluarkan resolusi untuk mendukung negosiasi resmi perjanjian pertukaran. Negosiasi berlangsung hingga akhirnya pada 22 Juli 1862, Mayjen Union John Dix dan Mayjen Konfederasi D.H. Hill menandatangani perjanjian resmi.
Perjanjian ini menetapkan pertukaran tawanan berdasarkan peringkat militer. Seorang perwira tinggi bernilai lebih dibanding prajurit biasa. Jika seorang tawanan dibebaskan bersyarat, ia wajib berjanji untuk tidak kembali bertempur hingga secara resmi ditukar.
Untuk mengawasi perjanjian ini, masing-masing pihak menunjuk komisaris pertukaran tahanan. Kota City Point, Virginia, dan Vicksburg, Mississippi, menjadi titik utama pertukaran tahanan.
Namun, pada 1863, sistem ini mulai runtuh akibat kebijakan Konfederasi yang membedakan perlakuan terhadap tentara Afrika-Amerika dan perwira yang memimpin mereka.
Kongres Konfederasi mengesahkan undang-undang yang mengancam perwira Union yang memimpin pasukan Afrika-Amerika dengan hukuman berat, termasuk kemungkinan eksekusi. Sementara itu, para tawanan Afrika-Amerika menghadapi risiko kehilangan kebebasan mereka kembali.
Sebagai tanggapan, Departemen Perang AS menghentikan program pertukaran dan pembebasan bersyarat pada Mei 1863. Akibatnya, jumlah tawanan perang terus meningkat. Pertempuran besar seperti Chancellorsville, Gettysburg, Chickamauga, dan Chattanooga menghasilkan ribuan tawanan di kedua kubu.
Ketegangan semakin memuncak ketika tawanan Union yang dibebaskan menemukan bahwa mereka harus menghadapi mantan tawanan Konfederasi yang kembali bertempur. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan pemimpin Union, termasuk Jenderal Ulysses S. Grant.
Grant menyatakan bahwa membebaskan tawanan Konfederasi hanya akan memperpanjang perang. Mereka akan kembali bertempur melawan Union. Oleh karena itu, ia menolak pertukaran tahanan selama kebijakan Konfederasi masih berlaku.
Pada akhirnya, pada Februari 1865, Konfederasi yang semakin terdesak setuju untuk memperlakukan semua tawanan secara setara tanpa memandang latar belakang mereka. Grant pun menyetujui dimulainya kembali pertukaran tahanan dengan skema satu lawan satu, sebanyak 3.000 orang per minggu.
Program ini berlangsung hingga perang berakhir pada April 1865. Semua tawanan akhirnya dibebaskan.
Secara keseluruhan, sekitar 60.000 tawanan perang dari kedua belah pihak meninggal di kamp-kamp penjara akibat kondisi yang tidak manusiawi.
Tragedi ini mencerminkan kerasnya realitas perang serta dampak dari kebijakan diskriminatif dan rasis yang memperburuk penderitaan para tahanan, menunjukkan betapa dalamnya perpecahan di Amerika Serikat saat itu. (LSA)