JAKARTA | Priangan.com – Ada satu peristiwa pada akhir 1946 yang perlahan mengubah arah diplomasi Republik Indonesia. Peristiwa itu berlangsung di sebuah desa bernama Linggarjati, ketika para pemimpin Republik dan utusan Belanda duduk berhadapan untuk mencari jalan tengah di tengah situasi politik yang belum stabil pasca-Proklamasi.
Setelah Jepang menyerah dan pasukan Sekutu kembali memasuki Indonesia, ketegangan antara pihak Republik dan Belanda tidak pernah benar-benar mereda. Kondisi tersebut memaksa kedua pihak mempertimbangkan langkah diplomasi sebagai pilihan yang mungkin membuka pintu penyelesaian.
Pertemuan di Linggarjati menghadirkan tokoh-tokoh penting dari kedua negara. Delegasi Republik dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang membawa mandat untuk memperjuangkan pengakuan atas negara yang baru berdiri.
Delegasi Belanda dipimpin Willem Schermerhorn dengan tugas menemukan formula hubungan baru yang sesuai dengan perubahan politik setelah berakhirnya masa pendudukan Jepang. Pada fase awal pembicaraan, mediasi Inggris turut menjaga agar dialog tetap berada pada jalurnya.
Rangkaian perundingan yang berlangsung intens menghasilkan draf berisi beberapa kesepakatan pokok. Salah satu poin yang paling menonjol adalah pengakuan de facto Belanda terhadap wilayah Republik yang mencakup Jawa, Sumatra, dan Madura.
Pengakuan ini menjadi langkah penting karena mencatatkan posisi Republik sebagai entitas politik yang diakui secara resmi. Draf yang sama juga memuat rencana pembentukan Negara Indonesia Serikat yang akan berada dalam satu Uni bersama Belanda.
Sesudah draf awal dicapai pada November 1946, proses politik berjalan menuju ratifikasi. Pemerintah Republik membahas dokumen itu di KNIP, sedangkan pemerintah Belanda menambahkan penjelasan yang membuat beberapa pasal dipahami secara berbeda. Perbedaan penafsiran tersebut menimbulkan perdebatan, namun upaya untuk tetap berada pada jalur diplomasi terus dijalankan. Penandatanganan resmi akhirnya berlangsung di Jakarta pada 25 Maret 1947.
Dampak dari kesepakatan itu segera terasa. Republik memperoleh legitimasi politik yang lebih kuat, sementara langkah Belanda membentuk negara-negara bagian di kawasan timur memicu ketegangan baru.
Situasi di lapangan berkembang tidak sejalan dengan semangat perundingan, sehingga hubungan kedua pihak kembali memanas. Perkembangan tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong Belanda melancarkan operasi militer pada Juli 1947, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.
Walaupun berujung pada konflik bersenjata, perjanjian ini tetap menandai babak penting dalam diplomasi Indonesia. Linggarjati menjadi langkah awal yang membuka jalan bagi perundingan lanjutan hingga Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan pada 1949. (wrd)

















