JAKARTA | Priangan.com – Perjanjian Giyanti menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Jawa yang mengubah arah kekuasaan Kesultanan Mataram pada abad ke-18. Kesepakatan yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 itu mengakhiri konflik panjang di lingkungan istana sekaligus menandai berakhirnya Mataram sebagai kerajaan tunggal yang berdaulat penuh di Jawa.
Latar belakang perjanjian ini berawal dari situasi politik Mataram yang tidak stabil setelah wafatnya Sunan Pakubuwono II pada 1749. Menjelang akhir hayatnya, Pakubuwono II menyerahkan kekuasaan kerajaan kepada Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC. Langkah tersebut memberi kewenangan besar kepada VOC untuk menentukan penguasa baru. VOC kemudian mengangkat Pakubuwono III sebagai raja Mataram dengan pusat pemerintahan di Surakarta. Keputusan ini memicu penolakan dari Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwono II, yang menilai campur tangan VOC telah melampaui batas dan merugikan kedaulatan kerajaan.
Penolakan Pangeran Mangkubumi berkembang menjadi perlawanan bersenjata yang berlangsung selama beberapa tahun. Konflik ini semakin meluas ketika Raden Mas Said ikut mengangkat senjata melawan Pakubuwono III dan VOC. Perang saudara yang kemudian dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa Ketiga menyebar di berbagai wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya, menimbulkan ketidakstabilan politik serta beban ekonomi yang berat bagi semua pihak. Bagi VOC, situasi tersebut mengancam kepentingan dagang dan kekuasaan kolonial yang sedang dibangun di Jawa.
Dalam kondisi konflik yang berkepanjangan, VOC mendorong penyelesaian melalui jalur perundingan. Sejak 1754, pembicaraan dilakukan secara intensif antara pihak-pihak yang bertikai. VOC bertindak sebagai mediator sekaligus penentu arah kesepakatan. Perundingan itu berujung pada penandatanganan Perjanjian Giyanti di Desa Giyanti, wilayah yang kini termasuk Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Isi perjanjian tersebut menetapkan pembagian wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua kekuasaan. Wilayah timur tetap dikuasai Pakubuwono III yang kemudian memerintah sebagai Sunan Surakarta. Sementara itu, wilayah barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang diakui sebagai Sultan Hamengkubuwono I dan mendirikan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian ini sekaligus mengatur hubungan kedua kerajaan dengan VOC, yang menempatkan perusahaan dagang Belanda itu sebagai kekuatan yang memiliki pengaruh besar dalam urusan politik dan ekonomi.
Perjanjian Giyanti membawa dampak besar bagi perjalanan sejarah Jawa. Kesultanan Mataram kehilangan posisinya sebagai kerajaan besar yang menguasai sebagian besar Pulau Jawa. Perpecahan kekuasaan ini membuka peluang bagi VOC untuk memperkuat dominasinya dengan memanfaatkan keseimbangan politik antara kerajaan-kerajaan baru. Konflik belum sepenuhnya berakhir karena Raden Mas Said masih melanjutkan perlawanan hingga tercapainya Perjanjian Salatiga pada 1757 yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.
- Hingga kini, Perjanjian Giyanti dikenang sebagai titik balik penting dalam sejarah politik Jawa. Kesepakatan tersebut melahirkan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang masih bertahan sebagai simbol budaya. (wrd)

















