JAKARTA | Priangan.com – Di balik kelezatan kentang goreng dan kelembutan mashed potato, tersembunyi kisah panjang yang berakar jauh sebelum umbi ini menjadi santapan favorit umat manusia. Kentang bukan hanya hasil panen dari tanah, tetapi juga produk dari sejarah panjang yang dipenuhi dengan prasangka, kelaparan, propaganda, dan kebangkitan budaya.
Perjalanannya dari Pegunungan Andes hingga ke piring makan di seluruh dunia bukanlah cerita yang datar. Ini adalah kisah bagaimana makanan bisa menjadi alat kekuasaan, simbol perlawanan, dan cerminan kesetaraan.
Sekitar delapan ribu tahun yang lalu, masyarakat adat di Andes, khususnya suku Inca dan leluhur mereka, mulai menanam kentang bukan semata-mata sebagai bahan pangan, melainkan juga sebagai lambang kesuburan dan perlindungan spiritual.
Di ketinggian yang ekstrem dengan tanah berbatu dan udara tipis, kentang tumbuh subur. Ketahanannya terhadap cuaca dingin dan kandungan nutrisinya yang tinggi menjadikannya tulang punggung peradaban pra-Columbus.
Namun, ketika para penakluk Spanyol datang ke benua itu pada abad ke-16, mereka tidak segera melihat potensi dari tanaman yang mereka angkut pulang bersama emas, kakao, dan tembakau. Berbeda dengan kemilau logam mulia dan aroma menggoda cokelat, kentang dianggap aneh, kotor, asing, dan terlalu sederhana untuk dijadikan komoditas penting.
Ketika kentang tiba di Eropa, sambutannya pun dingin. Banyak orang menganggap umbi ini menyeramkan. Bentuknya yang aneh dan kulitnya yang berbintik dikaitkan dengan penyakit seperti kusta, dan karena tumbuh di dalam tanah, ia dianggap sebagai bagian dari “tanah setan”.
Kepercayaan agama juga memperkeruh citra kentang, apa pun yang berasal dari bawah tanah dinilai tidak suci dan hanya layak dikonsumsi oleh binatang ternak dan golongan tidak mampu. Budidayanya bahkan sempat dilarang di beberapa wilayah. Di mata para bangsawan Eropa, kentang bukanlah makanan, melainkan ancaman.
Namun, krisis pangan yang melanda Eropa pada akhir abad ke-18 perlahan mengubah persepsi tersebut. Kekeringan berkepanjangan, metode bertani yang usang, dan gagal panen membuat roti, makanan utama masyarakat, menjadi barang langka.
Di tengah krisis ini, seorang apoteker Prancis bernama Antoine-Augustin Parmentier bangkit sebagai pembela kentang. Setelah mengalami sendiri manfaat kentang sebagai makanan pokok saat menjadi tahanan perang di Prusia, ia meluncurkan kampanye besar-besaran demi memulihkan citra umbi ini.
Parmentier menulis pamflet ilmiah, menyelenggarakan jamuan makan mewah berbasis kentang, bahkan menyematkan bunga kentang ke pakaian bangsawan, termasuk wig Marie Antoinette untuk menaikkan status sosialnya.
Namun taktik paling cerdiknya adalah strategi pemasaran lewat ilusi eksklusivitas. Setelah mendapatkan sebidang tanah dari Raja Louis XVI, Parmentier menanam kentang dan sengaja menempatkan penjaga di siang hari namun membiarkan ladangnya tidak terjaga di malam hari, memberi kesan bahwa tanaman ini sangat berharga.
Penduduk setempat, yang penasaran sekaligus lapar, mulai “mencuri” kentang dan menanamnya sendiri. Apa yang semula dipandang dengan jijik perlahan berubah menjadi komoditas yang diidamkan.
Setelah Fakultas Kedokteran Paris secara resmi menyatakan kentang aman dikonsumsi pada 1772, posisinya sebagai penyelamat pangan pun kian menguat. Menjelang Revolusi Prancis, Parmentier menerbitkan manifesto tentang kentang yang bahkan mendapat dukungan istana. Umbi itu akhirnya benar-benar berakar dalam budaya makan Prancis.
Apa yang dimulai di Prancis segera menyebar ke seluruh Eropa. Di Prusia, Raja Frederick Agung memerintahkan rakyatnya untuk menanam kentang, dan ketika mereka menolak, ia tak segan mengancam akan memotong telinga mereka. Untuk membuat kentang tampak mewah, ia menyebutnya sebagai “santapan raja”.
Di Irlandia, kentang menjadi penyelamat saat kelaparan melanda, meski kelak ketergantungan terhadapnya juga membawa bencana saat tanaman ini terserang penyakit.
Di Rusia dan Tiongkok, kentang diposisikan sebagai tanaman pangan strategis, sementara di Amerika, ia dibawa oleh imigran sebagai warisan kuliner sekaligus simbol adaptasi.
Meski telah mendunia, akar kentang tetap tertanam kuat di tanah kelahirannya, Peru. Di sana, ribuan varietas kentang masih dibudidayakan dan menjadi sumber kebanggaan nasional. Kentang bukan sekadar makanan, namun juga sebagai warisan budaya, simbol identitas, dan wujud dari keberlanjutan pangan lokal yang telah bertahan ribuan tahun.
Namun, ironi muncul di era modern. Di tengah budaya makanan cepat saji, kentang kerap dipandang sebagai simbol makanan tidak sehat karena digoreng, dibekukan, diproses berlebihan. Di Amerika Serikat, sebagian besar kentang dikonsumsi dalam bentuk keripik atau kentang goreng, jauh dari bentuk aslinya yang sederhana dan bergizi.
Padahal, kentang rebus yang dimasak perlahan dari air dingin bisa menjadi sajian revolusioner yang tidak hanya bergizi, tetapi juga menyatukan berbagai kelompok masyarakat. Ia melintasi batas kelas sosial, terjangkau oleh siapa saja, dan dapat dimasak oleh siapa pun.
Di tengah tantangan krisis iklim dan ketidakpastian pangan global, kentang kembali mendapat tempat sebagai solusi potensial. Ia tahan terhadap kondisi ekstrem, kaya nutrisi, dan bisa ditanam di lahan yang tidak subur.
Dari aloo gobi di India hingga gamja jorim di Korea, dari gnocchi di Italia hingga perkedel di Indonesia, kentang terus bertransformasi mengikuti budaya tempat ia tumbuh. Tak hanya memenuhi perut, ia juga memberi pelajaran tentang daya tahan, perubahan persepsi, dan kekuatan makanan dalam membentuk sejarah. Dalam setiap gigitan kentang, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan, pengakuan, dan keajaiban yang berasal dari dalam tanah. (LSA)