KALBAR | Priangan.com – Tragedi besar pernah terjadi di jantung Kalimantan Barat saat pendudukan militer Jepang. Sebuah peristiwa yang menjadi bagian kelam dan membekas hingga kini dalam ingatan masyarakat. Peristiwa itu dikenal sebagai insiden Mandor. Kejadian tragis yang menewaskan ribuan orang tanpa proses hukum yang jelas.
Semuanya berawal ketika Hindia Belanda kedatangan pasukan Jepang ke Kalimantan Barat pada akhir 1941. Kala itu, dalam waktu singkat, Pontianak berhasil dikuasai dalam waktu singkat setelah serangan udara yang intensif.
Setelah menduduki wilayah inilah Jepang mulai menjalankan kebijakan militer yang ketat disertai tekanan terhadap aktivitas sipil. Melalui media propaganda seperti Borneo Shinbun, mereka mencoba membentuk opini publik yang mendukung Perang Asia Timur Raya, meski kenyataan di lapangan justru memperlihatkan kehidupan masyarakat yang semakin tertekan.
Situasi semakin memanas ketika muncul dugaan bahwa sejumlah tokoh lokal tengah merancang perlawanan terhadap pemerintahan militer Jepang. Tuduhan ini mengarah pada terbentuknya sebuah gerakan bawah tanah yang disebut Gerakan Enam Sembilan.
Para tokoh masyarakat, bangsawan, pengusaha, dan cendekiawan menjadi sasaran penangkapan. Dalam banyak kasus, mereka dipaksa mengakui keterlibatan dalam gerakan tersebut melalui penandatanganan dokumen kosong. Proses interogasi dilakukan dengan cara-cara kekerasan oleh Tokkeitai, kepolisian rahasia militer Jepang.
Sejak Oktober 1943, gelombang penangkapan semakin meluas. Salah satu momen fenomenal terjadi dalam sebuah pertemuan resmi pada Mei 1944, di mana puluhan peserta langsung dibawa dan tidak pernah kembali. Mereka yang ditahan kemudian diinterogasi secara brutal sebelum dibawa ke lokasi eksekusi. Cara yang digunakan untuk menghabisi nyawa para tahanan dikenal dengan metode penyungkupan, di mana korban diikat dan dibunuh tanpa perlawanan.
Puncak dari tragedi ini terjadi di kawasan Mandor, sekitar 90 kilometer dari Pontianak. Di wilayah ini, ribuan orang dibawa ke hutan dan dieksekusi secara massal. Banyak di antara mereka merupakan tokoh penting dari berbagai etnis dan agama. Jumlah korban diperkirakan mencapai lebih dari 21 ribu jiwa, meski angka pastinya sulit dipastikan karena ketatnya sensor informasi yang diberlakukan pada masa itu.
Kehilangan besar ini meninggalkan dampak sosial dan budaya yang dalam. Kalimantan Barat kehilangan banyak pemimpin lokal dan generasi terpelajar yang sebelumnya menjadi penggerak dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat Kalimantan Barat menjadikan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah. Sebuah monumen pun dibangun di Mandor sebagai tempat peringatan, sekaligus menjadi makam massal para korban. Makam Juang Mandor kini menjadi lokasi ziarah tahunan dan simbol penghormatan terhadap mereka yang gugur dalam tragedi itu.
Setiap tahun, upacara peringatan digelar di sana. Warga bersama pemerintah daerah biasa melakukan doa bersama dan penghormatan terhadap para korban. (wrd)