TASIKMALAYA | Priangan.com – Pemerintah Kota Tasikmalaya kembali menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk laporan keuangan tahun anggaran 2024.
Ini adalah kali kesembilan berturut-turut sejak 2017 kota ini mengantongi predikat tertinggi dalam audit keuangan pemerintah daerah.
Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Kepala BPK RI Perwakilan Jawa Barat, Eydu Oktain Panjaitan, kepada Wali Kota Tasikmalaya Viman Alfarizi Ramadan, dalam sebuah seremoni resmi.
Pemerintah menyambutnya dengan bangga, menyebutnya sebagai bukti keberhasilan dalam tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Namun, di balik seremoni dan simbol prestasi itu, muncul pertanyaan dari aktivis antikorupsi: apakah WTP benar-benar mencerminkan pengelolaan keuangan yang sehat?
Irwan Supriyadi dari Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi mengajak publik untuk melihat lebih dalam ke balik angka dan laporan. Menurutnya, opini WTP lebih banyak menilai aspek administratif dan kerapian penyusunan laporan, bukan integritas dalam pelaksanaan anggaran.
“Setiap tahun WTP dirayakan seolah-olah itu akhir dari segalanya. Padahal laporan itu hanya menilai kulitnya saja—bukan isi transaksinya,” kata Irwan dalam keterangan tertulisnya.
Irwan mengurai bagaimana sistem laporan keuangan daerah bekerja. Ia menjelaskan bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh BPK merupakan hasil konsolidasi dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Dalam proses itu, laporan yang sebenarnya bermasalah di tingkat SKPD bisa saja tertutupi oleh sistem konsolidasi yang rapi. “Bisa jadi laporan akhir terlihat sempurna, padahal banyak cacat tersembunyi di tingkat satuan kerja,” jelasnya.
Ironi lainnya, menurut Irwan, adalah bagaimana kepala daerah kerap tampil menerima penghargaan, padahal aktor teknis penyusunan laporan keuangan ada di level bawah.
“Kasubag TU yang juga merangkap Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD adalah yang menyusun laporan. Tapi begitu WTP turun, yang tampil ke publik kepala daerah,” tambahnya.
Irwan juga mempertanyakan makna sejati dari WTP. Ia menyebutnya bisa menjadi tameng dari pertanggungjawaban publik yang lebih substansial.
“WTP bisa menutupi ketidakberesan dalam penggunaan anggaran. Ia bisa jadi penghargaan atas kerapian laporan, bukan kebenaran pengelolaan,” tandasnya.
Istilah “Wajar Tanpa Pengecualian”, dalam konteks ini, dinilainya perlu ditinjau ulang. “Kalau sistem pelaporan masih memungkinkan menyembunyikan masalah, maka WTP itu ya Wajar Tanpa Pertanggungjawaban,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya, Asep Goparullah, menilai raihan WTP adalah buah kerja sama lintas sektor—mulai dari OPD, DPRD, hingga masyarakat yang ikut mengawasi anggaran.
“Tahun lalu APBD kita Rp1,7 triliun, dengan PAD sekitar Rp360 miliar. Tingkat penyerapan mencapai 96 persen. Itu menunjukkan efektivitas kerja,” ujarnya.
Asep menyebut predikat WTP ini sebagai modal penting untuk mempercepat realisasi program prioritas dan menggenjot pelayanan publik. Ia berharap capaian ini menjadi pendorong semangat perubahan yang berkelanjutan. (yna)