JAKARTA | Priangan.com – Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini, yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak.
Kenaikan ini diperkirakan akan berimbas pada harga barang dan jasa yang lebih tinggi, mempengaruhi daya beli masyarakat, dan memperburuk perekonomian domestik yang sudah dalam tekanan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan ini adalah langkah yang harus diambil untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, meskipun mengandung dasar yang kuat, keputusan ini tidak lepas dari kritik.
“Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Kamis (14/11).
Sementara itu, para pengusaha dan beberapa anggota DPR menilai kenaikan tarif PPN dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah dan kelompok miskin. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menyatakan, meskipun kenaikan tarif hanya 1 persen, konsumenlah yang akan menanggung beban tersebut.
“Berat dong, siapa yang berat? Iya pembeli,” ungkap Solihin.
Tidak hanya itu, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, memperkirakan bahwa penerimaan negara dari pajak ini bisa meningkat sekitar Rp 80 triliun. Namun, ia juga mengingatkan bahwa hal tersebut akan diimbangi dengan kontraksi permintaan barang, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, kenaikan tarif PPN berisiko menambah inflasi. Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, juga mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat memperburuk kesejahteraan masyarakat, mengingat banyaknya sektor yang akan terdampak.
“Kondisi ini akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini termasuk bagi masyarakat kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR. Kenaikan tarif PPN akan membuat mereka menahan untuk mengurangi konsumsi domestik,” ujarnya, sembari menyoroti potensi meningkatnya inflasi tanpa diiringi dengan kenaikan upah yang signifikan.
Jaringan pengusaha yang tergabung dalam Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) juga menentang rencana kenaikan tarif PPN. Sekjen SUMU, Ghufron Mustaqim, menyebutkan bahwa kebijakan tersebut bisa kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan lapangan pekerjaan, terutama bagi pelaku UMKM yang saat ini masih berjuang di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat,” ujar Ghufron.
Sektor-sektor tertentu diperkirakan akan menjadi yang paling terpengaruh oleh kenaikan tarif PPN ini. Sektor ritel, misalnya, berpotensi mengalami penurunan penjualan karena konsumen yang semakin menahan pembelian mereka. Sektor pariwisata dan industri lainnya juga diperkirakan akan merasakan dampaknya, mengingat harga barang dan jasa yang naik akan meningkatkan biaya operasional dan mempengaruhi daya saing.
Meskipun ada potensi kenaikan pendapatan negara, berbagai pihak berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak sesuai dengan kondisi perekonomian yang sedang bergejolak. Mengingat inflasi yang masih tinggi, pengangguran yang meningkat, dan ketidakpastian ekonomi global, banyak pihak yang berharap pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar tidak memperburuk situasi perekonomian Indonesia di tahun-tahun mendatang. (mth)