JAMBI | Priangan.com – Hari Buruh Internasional atau May Day bukan sekadar hari biasa atau mungkin hari libur yang seringkali dimanfaatkan untuk beristirahat saja. Semua orang di dunia harus tau hari ini adalah simbol perjuangan panjang para pekerja melawan ketidakadilan.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, menjadikan hari ini sebagai momen untuk mengenang dan semakin peduli pada suara-suara yang mereka yang pernah atau bahkan sering ditindas.
Suara itu pernah menggema di tanah jajahan Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pada masa penjajahan, ketegangan antara rakyat pribumi dan penguasa kolonial Belanda makin terasa. Ketimpangan antara pemilik modal asing dan kaum pekerja lokal menciptakan jurang yang dalam.
Kelas proletar, yang sebagian besar terdiri dari petani dan buruh, menjadi korban utama sistem ekonomi yang timpang ini. Mereka hidup dalam tekanan, bekerja keras tetapi tetap miskin. Dari sinilah benih-benih perlawanan tumbuh.
Kegagalan Politik Etis yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan justru menambah derita rakyat. Alih-alih membawa perubahan positif, kebijakan ini hanya mempertegas dominasi kolonial dan memperparah ketidakadilan sosial. Gejolak pun tak terelakkan. Di berbagai daerah, keresahan berubah menjadi perlawanan terbuka.
Pada tahun 1916, meletus pemberontakan petani di Jambi dan Pasarrebo. Dua tahun kemudian, Cimareme turut bergolak, disusul Toli-Toli pada 1920. Semua ini adalah letupan nyata dari rasa muak yang menumpuk.
Semua pemberontakan ini memperlihatkan bagaimana kaum proletar, yang sebagian besar adalah petani, menjadi motor dari perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka alami.
Organisasi-organisasi nasional seperti CSI (Confederatie van de Sociale Instellingen) dan PFB (Personeel Fabriek Bond) kemudian berperan sebagai saluran untuk menyalurkan rasa tidak puas ini.
Aksi mereka tidak hanya terbatas pada protes, tetapi berkembang menjadi gerakan revolusioner yang mempergunakan gerakan buruh sebagai senjata untuk menuntut hak-hak mereka.
Gerakan ini juga memperlihatkan perlawanan terhadap kapitalisme kolonial, dengan semboyan sosialistis yang menentang dominasi modal asing.
Modal asing yang menguasai perekonomian Hindia Belanda dicap sebagai “kapitalisme yang berdosa” karena terus menindas kaum pribumi. Ketegangan yang meningkat di Belanda juga berpengaruh pada situasi di Indonesia, memperhebat gerakan perlawanan ini.
Pada saat yang bersamaan, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, yang dikenal dengan sikapnya yang lebih toleran terhadap perkembangan di Indonesia, mencoba meredakan ketegangan dengan membentuk Komisi Perubahan untuk meninjau struktur Dewan Rakyat dan sistem administrasi kolonial.
Meskipun demikian, kebijakan ini tidak banyak mengubah keadaan secara substansial. Banyak pihak di Belanda menganggap langkah Van Limburg Stirum sebagai konsesi yang tidak bertanggung jawab, sementara perubahan yang terjadi hanya terbatas pada perubahan administratif yang tidak menyentuh akar masalah penindasan sosial.
Van Limburg Stirum memang mencoba menciptakan hubungan yang lebih ramah antara pemerintah kolonial dan pemimpin pribumi, namun kebijakannya tetap menguntungkan kaum elit terpelajar. Bagi kaum buruh dan petani, kehidupan mereka tetap berada di bawah cengkeraman sistem yang mengekploitasi mereka.
Pemberontakan-pemberontakan seperti yang terjadi di Jambi menjadi bukti nyata bahwa meskipun ada sedikit kelonggaran dalam kebijakan kolonial, kaum proletar tetap menghadapi kenyataan hidup yang sangat berat.
Dengan demikian, meskipun Van Limburg Stirum lebih toleran dibandingkan pejabat kolonial sebelumnya, pemerintahannya tetap bertumpu pada sistem penjajahan yang menindas rakyat Indonesia.
Pemberontakan di Jambi, dan di daerah lainnya, menunjukkan bahwa perjuangan kaum buruh dan petani untuk keadilan dan kebebasan tidak pernah berhenti. Pada hari ini, kita mengenang perjuangan itu, karena Hari Buruh Internasional adalah pengingat bahwa perlawanan terhadap penindasan adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan kelas buruh di seluruh dunia. (LSA)