TASIKMALAYA | Priangan.com – Konflik pengelolaan kios di area komersil RSUD KHZ Musthafa memuncak setelah 17 pedagang—mayoritas ibu-ibu—mendatangi DPRD Kabupaten Tasikmalaya pada Selasa (9/12/2025).
Mereka datang bersama LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya sebagai kuasa hukum untuk menuntut keadilan atas tarif sewa kios yang dinilai mencekik dan merugikan para pelaku usaha kecil.
Audiensi berlangsung panas. Dari pihak eksekutif hadir Inspektorat, Bagian Hukum, manajemen RSUD KHZ Musthafa, serta Ketua Koperasi Karyawan RS SMC. Dalam forum itu, fakta yang mencengangkan terungkap: Koperasi Karyawan RS SMC hanya membayar Rp20 juta per tahun kepada RSUD untuk menyewa seluruh lahan komersial, namun kemudian menyewakannya kepada pedagang dengan tarif yang melonjak hingga Rp1,2 juta per bulan di beberapa kios.
Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Asep Muslim, menilai praktik tersebut menyimpang secara moral dan hukum.
“Sewa ke RSUD hanya Rp20 juta per tahun, tapi ke pedagang bisa sampai Rp1,2 juta per bulan. Para pedagang ini UMKM, usaha kecil. Ini koperasi atau rentenir?” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD berjanji melakukan penelusuran penuh terhadap pola hubungan kerja antara RSUD KHZ Musthafa dan koperasi.
Ia bahkan menyatakan tidak menutup kemungkinan meminta pemutusan kerja sama jika terbukti merugikan pedagang dan masyarakat.
“Jika temuan kami mengarah pada penyimpangan, pemutusan kontrak sangat memungkinkan,” ujarnya.
Ketua Komisi I DPRD, Andi Supriadi, menguatkan pernyataan tersebut. Ia menyatakan DPRD akan meninjau legalitas pendirian koperasi.
“Kalau terbukti ada pelanggaran atau praktik merugikan masyarakat, pembekuan koperasi sangat mungkin dilakukan,” tegasnya.
Andi menegaskan tidak akan tinggal diam jika ada lembaga yang harusnya melindungi justru menindas pelaku usaha kecil di lingkungan fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah.
Ketua LBH GP Ansor, Dinan Samsul Ma’arif, meminta DPRD dan Pemkab Tasikmalaya segera mengevaluasi kontrak kerja sama antara RSUD dan Koperasi Karyawan RS SMC.
Menurutnya, struktur sewa seperti itu bukan hanya tidak adil, tetapi juga berpotensi menabrak prinsip koperasi yang seharusnya mengedepankan asas kebersamaan dan gotong royong. LBH menilai praktik koperasi sudah berubah menjadi hubungan yang eksploitatif.
Dinan mendorong DPRD agar pihak eksekutif membuka seluruh dokumen kontrak, termasuk MoU antara RSUD dan koperasi, serta melakukan audit terhadap struktur tarif sewa. (yna)

















