DOHA | Priangan.com – Kepala urusan politik Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rosemary DiCarlo, menyatakan kekhawatiran mendalam tentang pembatasan terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dalam pertemuan dengan Taliban yang digelar di Qatar.
Pertemuan yang berlangsung selama dua hari ini dipimpin oleh PBB dan merupakan pertemuan pertama dengan Taliban yang belum diakui secara internasional sejak mereka merebut kekuasaan pada tahun 2021, setelah penarikan pasukan pimpinan AS.
DiCarlo menekankan, isu pembatasan terhadap perempuan dan anak perempuan menjadi fokus utama diskusi. “Afghanistan tidak akan bisa kembali ke kancah internasional, atau berkembang sepenuhnya secara ekonomi dan sosial, jika kehilangan kontribusi dan potensi separuh penduduknya,” tegasnya dilansir reuters, Senin (1/7).
Sejak Taliban kembali berkuasa, mereka telah melarang sebagian besar anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas dan melarang perempuan untuk menempuh pendidikan di universitas.
Taliban juga menghentikan sebagian besar staf perempuan Afghanistan bekerja di lembaga-lembaga bantuan, menutup salon kecantikan, melarang perempuan memasuki taman, dan membatasi perjalanan perempuan jika tidak ada wali laki-laki. Mereka mengklaim, itu sebagai bentuk menghormati hak asasi manusia sesuai dengan interpretasi hukum Islam.
Menurut DiCarlo, keterlibatan PBB dengan otoritas Taliban pada hari Minggu (30/6) dan Senin (1/7) bukan berarti pengakuan terhadap pemerintah mereka, melainkan bagian dari upaya internasional yang lebih luas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi jutaan warga Afghanistan.
Tak hanya itu, dalam pembicaraan juga menyoroti sektor swasta dan narkotika. DiCarlo menekankan pentingnya memetakan jalan ke depan yang jelas. “Ada kesepakatan luas mengenai perlunya memetakan jalan ke depan yang jelas,” katanya.
Kelompok hak asasi manusia mengkritik PBB karena tidak melibatkan perempuan Afghanistan dalam perundingan dengan Taliban di Doha. DiCarlo mengakui kritik tersebut, namun menjelaskan bahwa penyelenggara menghadapi pilihan sulit karena harus mengatur pertemuan langsung dengan penguasa “de facto” Afghanistan dan utusan internasional. (mth)