PAREPARE | Priangan.com – Setiap tanggal 11 Januari, masyarakat Indonesia memperingati Hari Tuli Nasional sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan panjang kaum tuli dalam meraih kesetaraan. Tanggal itu juga menjadi pengingat akan pentingnya menghargai dan mengakui satu sama lain tak peduli bagaimana kondisi fisik mereka.
Lantas, seperti apa kisah di balik peringatan Hari Tuli Nasional ini? Sejarah peringatan Hari Tuli Nasional tak terlepas dari perjuangan Aek Natas Siregar, seorang tokoh tuli yang memainkan peran penting dalam menyuarakan hak-hak komunitasnya.
Tepat pada tahun 1961, Aek Natas bersama rekannya, Mumuk Wiraadmaja, menemui Presiden Soekarno untuk menyampaikan aspirasi kaum tuli, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan. Pada hari yang sama, berdirinn pula Serikat Kaum Tuli Bisu Indonesia (SEKATUBI). Organisasi ini didirikan untuk memperjuangkan hak kaum tuli, menciptakan kesetaraan, dan meningkatkan aksesibilitas di berbagai sektor kehidupan.
Selain Aek Natas bersama Mumuk Wiraadmaja, ada kisah lain yang menjadi dasar dari penetapan Hari Tuli Nasional. Kisah ini berpijak pada sosok Opu Daeng Risaju, seorang bangsawan asal Sulawesi Selatan yang dikenal gigih menentang penjajahan Belanda.
Semasa hidup, sosok yang punya nama lahir Famajjah itu kerap menunjukkan keberaniannya yang sangat luar biasa. Salah satunya ketika Belanda hendak memperluas pengaruhnya di Sulawesi Selatan.
Kala itu, Opu Daeng Risaju yang memimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), langsung menyuarakan penolakan. Ia dengan tegas menentang sikap Belanda yang ingin melebarkan sayap kekuasaan di tanah kelahirannya.
Berkat kegigihan dan keberaniannya itu, Opu Daeng Risaju pernah ditangkap oleh pasukan Belanda. Padahal, usianya kala itu sudah tergolong renta. Saat ditangkap, Opu Daeng Risaju sudah berusia 60 tahun.
Selama penangkapan, dikisahkan kalau ia kerap mendapatkan banyak bentuk penyiksaan. Bahkan, dalam satu waktu, pasukan Belanda dengan sengaja meletuskan senapan di dekat telinganya. Walhasil, gendang telinganya pecah. Ia pun harus menjalani hidup dengan kondisi tuli permanen.
Meski sudah mengalami cacat fisik, semangat Opu Daeng Risaju untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak pernah surut. Ia terus berjuang hingga kemerdekaan Indonesia diraih tepat pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pasca kemerdekaan, Opu Daeng Risaju menjalani sisa hidupnya di Parepare, dan pada 1964, ia wafat. Di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2006, nama Opu Daeng Risaju dinotbatkan sebagai salah satu pahlawan nasional. Kisahnya di masa-masa perjuangan juga jadi dasar dalam penetapan Hari Tuli Nasional. (ersuwa)