Operation Tat-Type: Kisah Nyata Tato Golongan Darah di Era Perang Dingin

LOGAN | Priangan.com – Pada masa awal Perang Dingin, ketakutan terhadap serangan bom atom begitu besar sehingga mengubah kehidupan masyarakat Amerika, bahkan sampai ke ruang-ruang kelas sekolah dasar. Anak-anak dipaksa mengenakan tanda pengenal seperti milik tentara di leher mereka, agar tubuh mereka bisa dikenali jika serangan nuklir benar-benar terjadi.

Dari ketakutan ini, lahirlah gagasan yang lebih ekstrem dan tak lazim, yaitu menato anak-anak dan remaja dengan golongan darah mereka. Tujuan utamanya bukan untuk menyelamatkan mereka ketika terluka, melainkan agar mereka dapat segera dikenali sebagai calon pendonor darah dalam situasi darurat. Inisiatif ini dikenal sebagai Operation Tat-Type.

Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap kekurangan pasokan darah selama Perang Korea, yang berlangsung di tengah memuncaknya ketegangan Perang Dingin pada awal 1950-an. Sebagian besar darah yang dikumpulkan di Amerika Serikat dikirim ke medan perang, menyebabkan stok darah di dalam negeri menipis.

Ditambah lagi, dalam bayangan serangan nuklir, bank darah tradisional dianggap rentan terhadap kerusakan akibat ledakan atau kontaminasi radioaktif. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga medis mulai mendorong terbentuknya ‘bank darah berjalan’, yakni warga sipil yang telah diketik golongan darahnya dan siap memberi transfusi di tempat.

Di Chicago, Komite Pertahanan Sipil Medis (Chicago Civil Defense Committee/CCDC) di bawah pimpinan Dr. Andrew C. Ivy, mengajukan program penandaan golongan darah secara massal. Pengetesan dilakukan dengan menusukkan jarum ke ujung jari, lalu hasilnya ditato di tubuh peserta.

Prosedur ini dipromosikan sebagai tindakan medis ringan, mirip vaksinasi. Dr. Ivy, yang pernah menjadi penasihat American Medical Association dalam sidang kejahatan perang Nuremberg, kemungkinan terinspirasi dari praktik Nazi, di mana anggota Waffen-SS memiliki tato golongan darah di tubuh mereka, terutama di dada atau bagian dalam lengan. Lokasi tato dalam program Amerika juga dipilih secara strategis, bukan di lengan atau kaki yang rawan cedera saat ledakan, melainkan di sisi tubuh, bawah lengan, atau pinggul.

Lihat Juga :  Kursk 1943, Pertempuran Tank Terbesar Sepanjang Sejarah Dunia

Meski mendapat dukungan di Chicago, program ini tidak berhasil dilaksanakan secara luas di kota tersebut.

Namun, di Lake County, Indiana, ide ini disambut positif oleh komunitas medis lokal. Pada akhir tahun 1951, lebih dari 15.000 penduduk telah diklasifikasikan golongan darahnya, dan dua pertiga dari mereka menerima tato. Keberhasilan awal ini mendorong penyelenggara untuk menjangkau anak-anak sekolah dasar.

Pada Januari 1952, lima sekolah dasar di Hobart, Indiana, dijadikan lokasi uji coba. Para siswa membawa pulang surat izin untuk ditandatangani orang tua mereka. Jika orang tua menyetujui, pada hari yang telah ditentukan, ibu jari siswa ditusuk dan golongan darah mereka ditentukan.

Lihat Juga :  Menelusuri Kejatuhan Dinasti Ayyubiyah, Dari Perang Salib hingga Mamluk

Setelah itu, mereka diarahkan ke ruang tunggu dan dipanggil satu per satu menuju area yang ditutupi tirai. Di balik tirai tersebut, siswa melepaskan pakaian bagian atas dan menerima tato golongan darah dari petugas medis. Suasana di ruang tunggu tegang dan mencekam. Anak-anak yang menunggu hanya bisa mendengar suara mesin mirip bor dokter gigi dan tangisan teman-teman mereka yang keluar dari balik tirai sambil menangis kesakitan.

Seorang mantan siswa bernama Annella Petkovich-Dixon mengenang betapa trauma yang ia alami pada hari itu masih membekas seumur hidup. Ia menangis ketakutan saat mendengar jeritan teman-temannya dan tak mampu melarikan diri. Setelah ditato, ia terisak-isak, dan ibunya mungkin menyesal telah memberikan izin, berusaha menghapus tato itu dengan sabun dan air, tapi tentu saja tidak berhasil.

Program serupa juga dijalankan di negara bagian Utah, dipimpin oleh Dr. Omar Samuel Budge dan Dr. Oliver Wendell Budge. Di sana, program ini mendapat dukungan penuh dari Gereja Mormon, yang mengizinkan umatnya untuk menato golongan darah, sesuatu yang sebelumnya dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama.

Lihat Juga :  Keibodan, Organisasi Semi Militer untuk Bantu Polisi Jepang

Meski tatonya bersifat permanen, programnya justru berumur pendek.

Perang Korea berakhir pada tahun 1953, mengurangi kebutuhan darurat akan darah. Selain itu, praktik medis standar mewajibkan pencocokan silang (crossmatch) sebelum transfusi darah dilakukan, yang membuat keberadaan tato menjadi tidak relevan.

Faktor lain yang turut menyebabkan kegagalan program ini adalah sifatnya yang sukarela. Banyak warga memilih untuk tidak ditato dan hanya memakai tanda pengenal, meskipun hasil studi menunjukkan bahwa seperempat dari mereka kemudian kehilangan tanda tersebut. Selain itu, sekitar 60 persen menolak ditato dan biaya pelaksanaan program juga tergolong tinggi.

Hingga tahun 1955, sekitar 60.000 orang dewasa dan anak-anak di Lake County telah menerima tato golongan darah mereka. Ribuan lainnya mengikuti program serupa di wilayah Cache dan Rich, Utah. Kini, puluhan tahun kemudian, banyak dari mereka yang sudah berusia lanjut masih membawa bekas samar tato di tubuh mereka yang sudah nyaris tak terbaca, memudar, dan tampak seperti sisa dari babak sejarah yang nyaris terlupakan, tetapi pernah benar-benar terjadi di tengah paranoia nuklir Amerika. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos