Operasi Valkyrie: Rencana Senyap untuk Mengakhiri Hitler

BERLIN | Priangan.com – Ketika Perang Dunia II memasuki tahun kelima, dunia menyaksikan paradoks yang aneh. Di saat Hitler tampil sebagai simbol kekuasaan mutlak di mata rakyatnya, justru di balik dinding markas dan ruang rapat rahasia, sebagian orang terdekatnya mulai merencanakan sesuatu yang berlawanan. Bukan pasukan asing, melainkan orang-orang Jerman sendiri yang diam-diam mencari cara untuk mengakhiri rezim yang mereka tahu akan menyeret tanah air menuju kehancuran.

Dilansir dari DW, salah satu tokoh utama di balik rencana itu adalah Claus Schenk Graf von Stauffenberg. Ia pernah menjadi pendukung fanatik Hitler dan Sosialisme Nasional, tetapi pengalaman perang membuatnya melihat kenyataan pahit, bahwa di bawah kepemimpinan sang diktator, Jerman hanya akan menuju kehancuran. Bagi Stauffenberg, tidak ada pilihan lain selain menyingkirkan Hitler. Kepada orang-orang terdekatnya, ia bahkan menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain selain membunuhnya.

Keputusan itu diwujudkan pada 20 Juli 1944. Tepat pukul 12.42 siang, sebuah bom meledak di ruang konferensi markas Wolf’s Lair, benteng rahasia Hitler di Prusia Timur. Bom tersebut diletakkan langsung oleh Stauffenberg yang kemudian meninggalkan ruangan dan terbang menuju Berlin dengan keyakinan bahwa Hitler sudah mati.

Ia percaya inilah saatnya Operasi Valkyrie dijalankan, sebuah rencana darurat yang awalnya dibuat untuk mengatasi pemberontakan dalam negeri, tetapi kali ini dimanfaatkan untuk kudeta menggulingkan Nazi.

Namun kenyataan berjalan lain. Ledakan itu hanya melukai Hitler. Meja kayu ek tebal dan jendela yang terbuka karena panas musim panas meredam daya hancur bom. Meski masih ada peluang untuk melanjutkan kudeta, kebingungan, keterlambatan, dan sikap ragu-ragu membuat para konspirator kehilangan arah. Sebagian memilih diam, sementara yang lain kembali berpihak kepada Hitler.

Lihat Juga :  Kilas Balik; Gempa Kanto Jepang 1923

Malam harinya, sang diktator muncul di radio, dengan lantang menyatakan dirinya selamat karena “takdir”. Pada saat bersamaan, Stauffenberg dan kawan-kawannya ditangkap lalu dieksekusi. Ratusan orang lain yang diduga terlibat pun ikut menjadi korban.

Sejarawan Wolfgang Benz menilai kegagalan ini terutama karena tidak ada figur militer besar seperti Jenderal Erwin Rommel yang terlibat. Menurutnya, bila ada tokoh setenar Rommel yang ikut memimpin, rakyat akan melihat bahwa perlawanan terhadap Hitler bukanlah pengkhianatan, melainkan langkah sah untuk menyelamatkan negeri. Tanpa dukungan tokoh besar, gerakan ini tampak lemah di mata banyak orang.

Meski gagal, peristiwa 20 Juli 1944 tetap dikenang sebagai simbol keberanian. Henning von Tresckow, salah satu rekan Stauffenberg, bahkan sudah menegaskan sebelumnya bahwa keberhasilan bukan lagi hal terpenting, yang lebih penting adalah dunia melihat bahwa ada orang Jerman yang berani mempertaruhkan hidup demi menentang tirani. Kalimat itu kemudian menjadi warisan moral yang terus diingat.

Lihat Juga :  Jejak Keagungan Olympia dan Warisan Pertandingan Olimpiade Kuno

Namun, perlawanan terhadap Hitler tidak hanya datang dari lingkaran militer. Jauh sebelumnya, pada 1939, seorang tukang kayu bernama Georg Elser hampir saja berhasil membunuh Hitler dengan bom rakitan di sebuah pub di Munich. Ada pula kelompok mahasiswa yang dikenal sebagai Mawar Putih, menyebarkan selebaran anti-Nazi.

Sayangnya, kisah-kisah ini sering tertutupi oleh aksi 20 Juli yang dilakukan kalangan perwira. Kritik juga muncul, sebab banyak sejarawan menilai bahwa kelompok Stauffenberg baru bergerak ketika Jerman hampir kalah, sementara kekejaman Holocaust tidak menjadi perhatian utama mereka.

Pandangan masyarakat terhadap para konspirator juga berubah seiring waktu. Setelah perang berakhir, mereka sempat dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan, istri Stauffenberg awalnya ditolak menerima tunjangan janda.

Baru kemudian, negara mulai mengakui mereka sebagai pahlawan. Nama Stauffenberg diabadikan menjadi nama jalan, sekolah, hingga barak militer. Setiap 20 Juli, Jerman mengibarkan bendera dan menggelar upacara untuk mengenang peristiwa itu. Bahkan, prajurit baru Bundeswehr pun mengucapkan sumpah setia pada tanggal tersebut, sebagai simbol bahwa militer Jerman kini berdiri di atas nilai demokrasi, bukan ketaatan buta.

Lihat Juga :  Simbol dalam Sejarah Tahta Suci Gereja: Sepatu Merah dan Spiritualitas

Meski begitu, para sejarawan tetap menekankan bahwa Stauffenberg dan kelompoknya bukanlah pejuang demokrasi dalam arti yang kita kenal sekarang. Sejarawan Johannes Hürter berpendapat, Stauffenberg membayangkan pemerintahan yang tetap otoriter jika kudeta berhasil. Wolfgang Benz memberi penilaian bahwa mungkin Jerman akan kembali ke sistem hukum dan konstitusi, tetapi demokrasi penuh seperti saat ini belum tentu ada dalam visi mereka.

Kini, ketika masyarakat Jerman menyebut perlawanan terhadap Nazi, nama Stauffenberg hampir selalu muncul pertama. Ia menjadi wajah ikon sebuah peristiwa bersejarah yang gagal, namun tetap bermakna. Namun sejarah sejatinya lebih luas daripada sekadar satu nama. Ada banyak pihak lain yang juga melawan, seperti kaum Yahudi, komunis, jemaat gereja, seniman, partisan, hingga orang-orang biasa yang melawan dalam diam.

Walau tidak semuanya diabadikan dalam peringatan resmi, mereka semua adalah bagian penting dari mosaik keberanian. Dari suara lantang hingga perlawanan sunyi, mereka bersama-sama menunjukkan bahwa bahkan di bawah bayang-bayang teror, keberanian tetap menemukan jalannya. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos