JIANGYONG | Priangan.com – Di Provinsi Hunan, Tiongkok, para perempuan petani menciptakan sebuah sistem tulisan unik yang dikenal dengan Nüshu, yang berarti “tulisan wanita” dalam bahasa Mandarin. Tulisan ini berkembang di daerah Jiangyong dan kemungkinan juga menyebar ke wilayah Daoxian dan Jianghua yang berdekatan.
Nüshu ditemukan kembali setelah nyaris punah. Artefak tertuanya berasal dari awal abad ke-20, namun para peneliti meyakini bahwa akar bahasanya jauh lebih tua. Tulisan ini digunakan secara eksklusif oleh perempuan sebagai media komunikasi pribadi dan ekspresi emosi, terutama dalam kehidupan yang terbatas oleh norma sosial patriarkal.
Nüshu biasa ditulis di atas kertas dalam bentuk surat, puisi, dan kaligrafi. Ia juga ditemukan dalam kerajinan seperti sulaman pada sapu tangan, syal, selimut, dan celemek. Banyak dari benda ini dikubur bersama pemiliknya atau dibakar setelah meninggal, menjadikannya langka dan sulit ditemukan.
Walaupun sering dianggap sebagai sebuah bahasa, Nüshu lebih tepat disebut sebagai sistem aksara. Ia digunakan untuk menuliskan dialek lokal yang juga digunakan oleh laki-laki, namun mereka menuliskannya dalam aksara Hanzi. Tulisan Nüshu ditulis dalam kolom vertikal dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri.
Karakter dalam Nüshu lebih banyak berupa fonogram yang mewakili suara, berbeda dengan karakter Hanzi yang sebagian besar berupa ideogram. Karakter-karakternya dibentuk dari empat jenis goresan: titik, garis horizontal, vertikal, dan lengkung. Diperkirakan terdapat 1.000 hingga 1.500 karakter, namun sekitar 550 di antaranya dianggap benar-benar unik.
Penemuan kembali Nüshu terjadi pada pertengahan abad ke-20. Salah satu tokoh penting dalam pelestariannya adalah Zhou Shuoyi, seorang lelaki yang mempelajari aksara ini setelah menemukan puisi leluhur keluarganya. Ia mulai meneliti pada 1950-an, tetapi studinya terhenti akibat Revolusi Kebudayaan. Bukunya yang diterbitkan pada 1982 kemudian menarik perhatian publik.
Nama lain yang turut berperan adalah Gog Zhebing dan Yan Xuejiong, yang mendokumentasikan kaligrafi Nüshu di Prefektur Jiangyong. Dari Jepang, Profesor Orie Endo mulai meneliti Nüshu sejak 1990-an. Ia pertama kali mengenalnya lewat Toshiyuki Obata dan kemudian belajar langsung dari Profesor Zhao Liming di Universitas Beijing.
Endo dan Zhao mengunjungi Jiangyong dan mewawancarai perempuan lanjut usia yang masih mampu membaca dan menulis dalam Nüshu. Langkah ini penting dalam menyelamatkan tradisi yang hampir hilang tersebut.
Wilayah tempat Nüshu berkembang dihuni oleh etnis Han dan Yao. Kawasan ini dikenal dengan iklim yang baik dan hasil pertanian yang melimpah. Namun seperti banyak wilayah lain di Tiongkok, masyarakatnya didominasi oleh laki-laki, dan perempuan tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal.
Dalam sistem pernikahan eksogami yang berlaku, perempuan harus meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama keluarga suami. Banyak di antara mereka yang tidak lagi dapat berhubungan dekat dengan teman dan keluarga asalnya.
Dalam kondisi ini, Nüshu menjadi sarana rahasia untuk tetap menjalin komunikasi.
Tulisan-tulisan Nüshu biasanya berbentuk puisi dan surat antarsesama perempuan. Temanya sering kali berkisar pada pernikahan, perpisahan, dan penderitaan. Tradisi “saudari sumpah” juga tercatat, yaitu ikatan persahabatan erat antara perempuan yang tidak memiliki hubungan darah.
Karena sifatnya yang pribadi dan tidak terdokumentasi dalam arsip resmi atau silsilah keluarga, sejarah awal Nüshu sulit dilacak. Beberapa akademisi menganggapnya sebagai varian dari aksara Hanzi, sementara yang lain percaya bahwa ia merupakan sisa dari sistem tulisan kuno Tiongkok yang telah hilang.
Kemunduran Nüshu mulai terlihat pada 1920-an, saat pendidikan bagi perempuan mulai berkembang. Banyak generasi muda yang tidak lagi mempelajarinya karena menganggapnya tidak relevan.
Akibatnya, jumlah perempuan yang mampu menulis dalam Nüshu pun menyusut drastis.
Upaya pelestarian terus dilakukan. Pusat Penelitian Budaya Nüshu didirikan di Tiongkok untuk mendokumentasikan aksara ini beserta konteks budaya di sekitarnya.
Pada tahun 2003, Zhou Shuoyi menyusun kamus yang memuat 1.800 karakter Nüshu berikut variannya dan catatan tata bahasa.
Hingga kini, diketahui sedikitnya ada 100 manuskrip Nüshu yang ditemukan di luar Tiongkok. Pada April 2004, sebuah pameran khusus Nüshu dibuka untuk memperkenalkan kembali warisan budaya ini kepada masyarakat luas.
Nüshu bukan hanya bentuk komunikasi, tetapi juga simbol ketahanan dan solidaritas perempuan dalam masyarakat yang mengekang mereka. Lewat tulisan ini, para perempuan menemukan ruang untuk berbicara, merasa, dan terhubung—meski hanya dalam diam dan rahasia. (LSA)