Narasi Sunyi Perempuan Pribumi dalam Bayang Perbudakan di Masa VOC

JAKARTA | Priangan.com – Pada masa kolonial, praktik perbudakan bukan hanya menyasar wilayah-wilayah di benua Afrika atau kawasan Karibia seperti Suriname dan Antillen, tetapi juga menjejak dalam-dalam di tanah Hindia Belanda.

Dalam bayang-bayang sejarah kolonial Belanda, narasi perbudakan di Asia Tenggara memang seringkali terpinggirkan. Padahal, jauh sebelum sistem perbudakan berkembang pesat di Suriname, perusahaan dagang Belanda, VOC, telah lebih dulu menjalankan praktik serupa di wilayah Nusantara.

Berbeda dengan gambaran perbudakan yang identik dengan kerja paksa di ladang-ladang tebu atau tambang emas yang menguras tenaga, bentuk perbudakan di Hindia Belanda kerap berwujud halus, namun tak kalah menindas.

Banyak dari mereka, terutama perempuan pribumi, dijadikan budak pelayan rumah tangga di kediaman-kediaman orang Eropa. Mereka bekerja tanpa upah, hidup di bawah perintah, dan nyaris tak memiliki ruang untuk menentukan nasib sendiri. Kendati mereka tidak dipekerjakan di medan kerja fisik berat, tekanan mental dan beban emosional yang ditanggung tak kalah mengerikannya.

Dalam sebuah lukisan karya Jan Brandes dari tahun 1780, terlihat seorang perempuan Jawa bernama Roosje, mengenakan kain kemben, sedang menjalankan tugasnya sebagai pelayan di Batavia. Brandes menggambarkan Roosje sebagai “budak yang melakukan pekerjaan rumah tangga”.

Potret itu menangkap simbol kehidupan budak perempuan yang kerap luput dari dokumentasi sejarah besar. Mereka tak hanya harus menyelesaikan segala pekerjaan domestik dari pagi hingga malam, tetapi juga hidup di bawah pengawasan langsung majikan, tidur di dapur, gudang, atau loteng, dan selalu siap memenuhi panggilan kapan pun dibutuhkan.

Kedekatan secara fisik dengan majikan yang terjadi setiap hari menciptakan ikatan yang paradoksal karena dalam kesehariannya mereka dianggap dekat, namun tetap tak setara.

Lihat Juga :  Ketika 'Kejelekan' Dianggap Kejahatan: Jejak Hukum yang Tidak Manusiawi di Amerika Serikat

Para budak rumah tangga menjadi bagian dari rutinitas keluarga Eropa, namun tetap diperlakukan sebagai “milik”. Tekanan mental yang mereka alami justru seringkali muncul dari relasi semu tersebut. Dalam beberapa kasus, relasi ini bisa berubah menjadi kekerasan verbal bahkan fisik, sebagaimana dicatat oleh sejarawan Matthias van Rossum.

Bagi perempuan yang dijadikan pelayan rumah tangga, hidup mereka sering kali terisolasi. Terkurung dalam rumah-rumah besar orang Eropa, jauh dari dunia luar, mereka hidup dalam kesunyian yang panjang. Dalam situasi seperti itu, sebagian dari mereka akhirnya memilih untuk melarikan diri, mempertaruhkan keselamatan demi sebuah harapan akan kebebasan.

Ketika akhirnya perbudakan dihapuskan secara hukum, banyak perempuan pribumi tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai pelayan rumah tangga, meski kini menerima upah, walau sangat kecil. Dari sinilah muncul istilah “baboe” atau “kindermeid”, sebuah penyebutan bagi perempuan-perempuan pribumi yang bekerja mengasuh anak-anak keluarga Eropa.

Lihat Juga :  Akhir Tragis Sang Pahlawan Legendaris Yunani: Achilles

Baboe bukan sekadar pelayan. Mereka menjadi bagian penting dalam kehidupan rumah tangga kolonial. Setiap pagi, mereka membangunkan sinyo dan noni, memandikan, menyiapkan pakaian dan sarapan, hingga mengantar mereka ke sekolah. Di malam hari, baboe akan mendongeng agar anak-anak Eropa itu bisa tertidur. Tak jarang, mereka juga menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sarat nada sendu, menyisipkan kenangan kampung halaman yang tak bisa mereka datangi.

Meskipun hubungan antara baboe dan anak-anak Eropa itu tampak akrab, bukan berarti tanpa ketimpangan. Banyak dari mereka mengalami kendala komunikasi karena tidak mahir berbahasa Belanda. Akibatnya, mereka lebih banyak menggunakan bahasa daerah yang justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan majikan Eropa, karena dianggap dapat mempengaruhi anak-anak mereka secara budaya.

Meski begitu, banyak sinyo dan noni justru merasa lebih dekat dengan baboe ketimbang ibu kandung mereka sendiri. Dalam rumah tangga Eropa, baboe tak hanya menjalankan tugas pengasuhan, tetapi juga memberi kasih sayang dan perlindungan.

Lihat Juga :  Fuhrerbunker, Tempat Terakhir Adolf Hitler Sebelum Bunuh Diri

Meski demikian, sikap anak-anak Eropa terhadap baboe tidak selalu menyenangkan. Ada kalanya mereka bersikap kasar, nakal, bahkan melecehkan. Namun para baboe tetap bersabar dan setia menjalankan tugasnya.

Di balik semua itu, terdapat ironi yang mendalam, beberapa baboe menyayangi anak majikan mereka melebihi anak kandung mereka sendiri, anak-anak yang mungkin harus mereka tinggalkan demi menyambung hidup di rumah orang asing.

Dari masa VOC yang memperbudak secara paksa, hingga periode Hindia Belanda yang memperhalus bentuk dominasi lewat sistem kerja upahan yang timpang, perempuan pribumi memainkan peran besar dalam sejarah sosial kolonial. Mereka adalah wajah yang kerap tak terlihat dalam narasi besar sejarah, namun jejak pengabdian, penderitaan, dan keteguhan mereka terus membekas dalam ingatan kolektif bangsa ini. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos