PALESTINA | Priangan.com – Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti “bencana,” merujuk pada serangkaian peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1948, ketika sekitar 700.000 warga Palestina dipindahkan dan diusir dari tanah air mereka. Istilah ini tidak hanya menggambarkan pengusiran fisik, tetapi juga penghancuran masyarakat, budaya, identitas, dan hak politik warga Palestina, yang hingga kini terus menjadi bagian penting dari narasi nasional mereka.
Penting untuk dicatat bahwa Nakba tidak hanya terjadi pada tahun 1948, tetapi juga mencakup pendudukan yang berkelanjutan di wilayah Palestina, seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta berbagai penganiayaan yang dialami oleh warga Palestina di luar wilayah tersebut. Trauma kolektif yang ditimbulkan oleh Nakba membentuk identitas nasional Palestina dan memperkuat aspirasi politik mereka untuk kembali ke tanah air yang telah hilang.
Di sisi lain, narasi Israel menganggap Nakba sebagai bagian dari perang kemerdekaan mereka, yang mewujudkan aspirasi Yahudi untuk mendirikan negara dan memperoleh kedaulatan. Ini menciptakan ketegangan antara kedua perspektif yang berbeda mengenai sejarah dan hak atas tanah.
Peristiwa Nakba berkontribusi signifikan terhadap terciptanya diaspora Palestina, saat penciptaan negara Israel sebagai tanah air Yahudi membuat banyak orang Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saat ini, mayoritas dari 13,7 juta warga Palestina tinggal di luar wilayah sejarah Mandat Palestina, dengan sekitar 6,2 juta di antaranya terdaftar sebagai pengungsi oleh UNRWA (Badan Pengungsi Palestina PBB).
Dari angka tersebut, sekitar 40% tinggal di Tepi Barat dan Gaza, sementara 60% berada di negara-negara Arab lainnya. Banyak dari mereka mengalami kesulitan dalam berintegrasi dengan masyarakat setempat, menciptakan ketegangan yang terkadang memuncak dalam konflik, seperti yang terjadi di Lebanon dan saat pengungsi Palestina dievakuasi dari Kuwait pada awal 1990-an.
Sejarah Nakba dimulai pada November 1947, ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi untuk membagi Palestina menjadi dua negara—satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab—dengan Yerusalem di bawah pengawasan internasional. Penolakan dunia Arab terhadap rencana tersebut memicu serangan oleh milisi Yahudi ke desa-desa Palestina, yang menyebabkan banyak penduduk mengungsi.
Ketegangan ini berkembang menjadi perang besar pada 1948, yang berakhir dengan deklarasi kemerdekaan Israel dan menyebabkan lebih dari separuh penduduk Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Pada awal Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194 (II), yang menyerukan pemulangan pengungsi Palestina, restitusi properti, dan kompensasi. Namun, setelah lebih dari 75 tahun, hak-hak warga Palestina tetap terabaikan, dengan lebih dari 5 juta pengungsi tersebar di seluruh Timur Tengah, menghadapi tantangan berupa pemukiman Israel, pengusiran, penyitaan tanah, dan pembongkaran rumah.
Peringatan Nakba setiap tahun pada tanggal 15 Mei bukan hanya mengingatkan kita akan peristiwa tragis 1948, tetapi juga menyoroti ketidakadilan yang terus dialami oleh rakyat Palestina. Trauma kehilangan rumah, tanah, dan gaya hidup ini terus membayangi generasi demi generasi, menguatkan tekad mereka untuk memperjuangkan hak mereka untuk kembali ke tanah air yang telah dirampas. Seperti yang dinyatakan oleh Majelis Umum PBB, peringatan ini diharapkan dapat dihormati dan diakui sebagai pengingat akan perjuangan dan harapan rakyat Palestina untuk keadilan. (mth)