NEW YORK | Priangan.com – Setiap tanggal 1 Mei, warga New York dahulu menghadapi kekacauan dan kesibukan yang luar biasa. Hari itu dikenal sebagai ‘Moving Day’, sebuah tradisi tahunan di mana hampir satu juta penyewa di seluruh kota secara serentak berpindah tempat tinggal. Tradisi ini berlangsung sejak era kolonial dan terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-20.
Awalnya, semua kontrak sewa-menyewa di New York berakhir bersamaan pada tanggal 1 Mei. Pemilik rumah akan memberikan pemberitahuan pada tanggal 1 Februari yang dikenal sebagai ‘Rent Day’ untuk menginformasikan tarif sewa baru kepada para penyewa. Jika penyewa menyetujui kenaikan tersebut, mereka bisa tetap tinggal. Namun, jika tidak sanggup membayar, mereka harus mencari tempat baru.
Banyak penyewa yang menunda kepindahan hingga hari terakhir. Akibatnya, jalan-jalan kota dipenuhi dengan pemandangan luar biasa. Trotoar tertutup perabot rumah tangga, jalan raya macet oleh gerobak dan kereta pengangkut barang, serta warga yang sibuk berpindah dari satu rumah ke rumah lain.
Asal-usul tradisi ini masih diperdebatkan. Ada yang menyebut tanggal 1 Mei dipilih karena merujuk pada hari keberangkatan pemukim Belanda pertama ke Manhattan, sementara versi lain mengaitkannya dengan perayaan May Day di Inggris.
Pada tahun 1820, praktik ini menjadi hukum melalui undang-undang negara bagian New York yang menetapkan bahwa jika tidak ada tanggal lain disebutkan dalam kontrak, maka tanggal berakhirnya sewa adalah 1 Mei. Meskipun undang-undang tersebut dicabut pada 1828, kebiasaan ini tetap berlangsung dan menjadi bagian dari budaya kota.
Pada abad ke-19, Moving Day menjadi begitu masif dan kacau. Laporan surat kabar New York Times tahun 1855 menggambarkan betapa kacaunya situasi, tempat tidur reyot, meja rusak, piano, dan perabot dapur bercampur baur di jalanan. Banyak barang pecah atau hilang, seperti sekrup ranjang atau foto keluarga yang rusak. Porselen pun kerap kali pecah sebelum malam tiba. George Templeton Strong, seorang pengacara terkemuka, mencatat dalam buku hariannya bahwa kota seolah-olah “memuntahkan isinya” ke jalan-jalan, menggambarkan suasana yang mirip dengan kehidupan nomaden.
Para tukang kayu mendapat keuntungan besar dari kondisi ini, sering kali mengenakan tarif di atas harga resmi. Bahkan, petani dari Long Island dan New Jersey pun turut datang ke kota untuk ikut serta sebagai pengangkut barang dadakan, meninggalkan ladang dan ternak mereka demi peluang menghasilkan uang tunai dalam sehari. Kusir atau pengemudi gerobak menjadi tokoh sentral hari itu, berubah menjadi sosok yang angkuh dan sulit ditawar. Tawaran biasa ditertawakan, bahkan $5 untuk jarak dekat pun dianggap tidak layak.
Sejak pertengahan abad ke-19, praktik ini mulai menuai kritik. Liga Penyewa mengecam kenaikan sewa tahunan, sementara biaya pindah menjadi beban tersendiri. Tak jarang, biaya pindah setara dengan gaji seminggu penuh. Lama-kelamaan, sebagian warga menjadi lebih bijak dan mulai pindah beberapa hari sebelum atau sesudah 1 Mei untuk menghindari kekacauan.
Meski begitu, tradisi ini tetap bertahan hingga awal abad ke-20. Baru setelah Perang Dunia II, tradisi Moving Day mulai memudar. Perang, urbanisasi yang meluas, serta pembangunan perumahan di luar Manhattan memungkinkan orang menyebar ke wilayah pinggiran. Hal ini menurunkan permintaan hunian di pusat kota dan membuat harga sewa menjadi lebih stabil. Dengan demikian, berakhirlah kebiasaan pindah massal tahunan yang pernah mewarnai sejarah Kota New York selama berabad-abad. (LSA)