MKKS SMK Tasikmalaya: Keputusan Gubernur Bisa Bikin Sekolah Swasta Bangkrut!

TASIKMALAYA | Priangan.com – Keputusan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang memperbolehkan sekolah negeri menerima hingga 50 siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) menuai kritik tajam dari para kepala sekolah swasta. Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Swasta SMK Kota Tasikmalaya menyebut kebijakan tersebut telah memicu keresahan di lapangan dan mengancam keberlangsungan pendidikan swasta.

Ketua MKKS Swasta SMK Kota Tasikmalaya, Japar Solihin, menyatakan bahwa pihaknya mendukung langkah pemerintah untuk menekan angka anak putus sekolah. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut justru mengorbankan banyak pihak dan bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.

“Kami sangat mendukung upaya mengatasi anak putus sekolah, tapi bukan dengan cara yang justru menyalahi aturan. Keputusan ini sudah menimbulkan keresahan luas, terutama di sekolah swasta,” kata Japar, Rabu (16/7/2025).

Ia menyoroti Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah, yang memperbolehkan satu rombel diisi hingga 50 siswa. Menurut Japar, aturan tersebut jelas bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023, yang mengatur maksimal 36 siswa per rombel untuk jenjang SMA/SMK sederajat.

“Permendikbudristek tegas menyebut maksimal 36 siswa per rombel. Sementara keputusan gubernur menetapkan boleh sampai 50 orang. Ini jelas melabrak aturan nasional,” ujarnya.

Dampaknya, lanjut Japar, sekolah swasta kini menghadapi ancaman serius. Jumlah siswa baru menurun drastis karena daya tampung sekolah negeri yang meningkat tajam. Ia mencontohkan kondisi yang kini terjadi di sejumlah SMK swasta di Kota Tasikmalaya.

“Semua SMK swasta merasakan dampaknya. Bukan hanya SMK Perwari, tapi juga SMK Yapsipa, SMK Mitrabatik, hingga SMA Pasundan 2. Mereka semua alami penurunan jumlah siswa baru,” ungkapnya.

Japar mengungkapkan bahwa sekolah-sekolah swasta yang telah lama berdiri dan berjasa dalam dunia pendidikan kini berada di ambang krisis. Salah satunya adalah SMK Yapsipa, yang telah berdiri sejak 1985. Sekolah ini terus mengalami penurunan jumlah siswa dari tahun ke tahun akibat kebijakan tersebut.

Lihat Juga :  Cecep–Asep Resmi Pimpin Tasikmalaya, Gubernur Jabar Ingatkan Prioritas Kesejahteraan Rakyat

Selain merugikan sekolah, kebijakan penambahan jumlah siswa per kelas juga berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran. Ia menilai, kapasitas ruang kelas di Indonesia umumnya hanya dirancang untuk menampung 36 siswa. Jika dipaksakan hingga 50 orang, proses belajar-mengajar akan terganggu.

Lihat Juga :  Memanas! India Ancam Serang Pakistan

“Bagaimana guru bisa maksimal mengajar jika siswanya sampai 50 orang dalam satu kelas? Jelas tidak efektif dan akan berimbas pada kualitas pendidikan. Murid pun yang akhirnya dikorbankan,” tegas Japar.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa sekolah swasta memiliki peran penting dalam menyerap siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Bila dibiarkan, kondisi ini bukan hanya menyebabkan penurunan kualitas pendidikan, tapi juga dapat menimbulkan efek domino, termasuk ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap guru-guru honorer.

“Jika sekolah swasta terus kehilangan siswa, maka otomatis pemasukan dari SPP dan dana BOS akan berkurang. Guru-guru honorer bisa di-PHK, dan ini sangat memprihatinkan,” ujarnya.

Japar berharap pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Ia mendorong agar solusi penanganan anak putus sekolah dilakukan dengan pendekatan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap sekolah swasta.

“Kami ingin anak-anak tetap sekolah, tapi jangan sampai sekolah swasta yang sudah puluhan tahun berkontribusi justru dimatikan secara perlahan oleh kebijakan sepihak,” pungkasnya. (yna)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos