JAKARTA | Priangan.com – Pada akhir abad ke-19, di sebuah desa kecil di pesisir selatan Jawa Barat bernama Tjipetir yang kini dikenal sebagai Cipetir, berkembanglah sebuah industri yang akan menjangkau dunia. Di sana tumbuh pohon-pohon Palaquium penghasil getah gutta-percha, bahan alami berwarna gelap yang menjadi komoditas penting pada masa kejayaan kolonial. Getah ini diekstraksi, dicetak menjadi lempengan persegi, lalu dikirim ribuan kilometer jauhnya menuju pusat-pusat industri Eropa dan Asia Timur.
Gutta-percha memiliki peran besar dalam revolusi komunikasi abad ke-19. Sifat isolatif dan tahan air dari bahan ini menjadikannya pilihan utama untuk melapisi kabel telegraf bawah laut yang menghubungkan benua-benua. Ia juga digunakan dalam produksi bola golf, peralatan bedah, gigi palsu, mainan, hingga perhiasan.
Sebelum dunia Barat mengenal potensi komersial gutta-percha, masyarakat lokal di Asia Tenggara telah lama memanfaatkannya secara tradisional untuk membuat gagang senjata, tongkat jalan, dan benda-benda sehari-hari lainnya dari getah tersebut.
Namun, siapa sangka bahwa lebih dari seabad kemudian, hasil dari industri kolonial di Cipetir akan muncul kembali, kali ini dalam bentuk misteri maritim yang menarik perhatian publik Eropa.
Dilansir dari National Geographic Indonesia, pada tahun 2012, Tracey Williams, seorang warga Inggris, menemukan sebuah lempengan aneh di pantai Cornwall. Terbuat dari bahan seperti karet tua dan bertuliskan “Tjipetir”, benda itu membangkitkan rasa penasarannya. Beberapa minggu kemudian, ia kembali menemukan lempengan serupa di pantai lain. Saat ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya ia yang menemukannya, lempengan bertuliskan “Tjipetir” telah terdampar di pantai-pantai Eropa selama beberapa dekade, mulai dari Inggris hingga Swedia. Sebuah fenomena lintas waktu yang menanti untuk dijelaskan.
Pertanyaan besar tentang bagaimana lempengan-lempengan yang berasal dari perkebunan kolonial Hindia Belanda ini bisa menyebar hingga sejauh itu.
Salah satu dugaan paling kuat mengarah pada kapal Miyazaki Maru, kapal dagang Jepang yang ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman pada Mei 1917 saat mengangkut muatan dari Yokohama menuju London. Di dalam manifes kargonya tercantum bahwa kapal tersebut membawa pelat-pelat gutta-percha.
Ketika kapal karam, sebagian muatan diduga tetap utuh di dasar laut. Dalam waktu puluhan tahun, arus laut seperti Gulf Stream dan Arus Atlantik Utara mungkin membawa potongan-potongan gutta-percha ke permukaan, mengarungi samudra, lalu terdampar satu per satu di pantai-pantai Eropa.
Teori lain yang lebih spekulatif mengaitkannya dengan tenggelamnya Titanic pada tahun 1912, karena kapal itu juga membawa barang serupa dalam kargonya. Namun, tidak ada bukti kuat yang menghubungkan lempengan Tjipetir secara langsung dengan peristiwa tenggelamnya kapal legendaris tersebut.
Misteri blok Tjipetir bukan sekadar soal muatan kapal yang hilang di laut. Ia adalah cermin dari sejarah globalisasi awal, ketika komoditas dari tanah jajahan menjadi bagian dari infrastruktur modern dunia. Getah dari pohon Nusantara ikut menopang jaringan komunikasi transatlantik, hasil bumi dari desa terpencil di Jawa menjadi bagian dari kemajuan teknologi abad ke-19.
Kini, setelah masa kejayaannya, gutta-percha kembali hadir dalam bentuk potongan sejarah yang terapung. Blok-blok Tjipetir itu tidak lagi sekadar barang industri, melainkan artefak yang menyimpan lapisan makna dari kisah kolonialisme, perdagangan global, dan keterhubungan manusia dengan laut. (LSA)