CHICAGO | Priangan.com – Di era modern yang dipenuhi teknologi canggih dan gempuran iklan medis, banyak produk dijajakan dengan janji menyembuhkan berbagai penyakit tanpa dasar ilmiah yang jelas.
Dalam konteks inilah, istilah “minyak ular” kerap mencuat sebagai sindiran pedas terhadap ramuan atau layanan yang dianggap tak lebih dari tipuan. Istilah tersebut telah melekat dalam budaya populer sebagai simbol kepalsuan yang menyamar sebagai solusi kesehatan.
Namun, jauh sebelum istilah itu identik dengan penipuan, “minyak ular” sesungguhnya berakar dari praktik pengobatan tradisional yang memiliki dasar nyata dan sejarah panjang yang kini kerap terabaikan.
Pada abad ke-19, ribuan migran Tiongkok tiba di Amerika Serikat untuk bekerja dalam proyek pembangunan Jalur Kereta Lintas Benua. Bersama mereka, turut hadir warisan budaya, makanan, serta berbagai metode pengobatan tradisional, termasuk minyak ular atau ramuan yang dibuat dari lemak ular air Tiongkok. Ramuan ini digunakan untuk meredakan nyeri sendi dan peradangan, terutama setelah seharian bekerja keras di lapangan.
Meski saat itu belum ada penjelasan ilmiah mengenai kandungannya, para pekerja Tiongkok telah lama mempercayai khasiatnya berdasarkan pengalaman turun-temurun. Mereka mengoleskan minyak tersebut ke bagian tubuh yang nyeri dan merasa manfaatnya secara nyata.
MTak jarang, mereka membagikan ramuan ini kepada rekan-rekan kerja asal Amerika, yang turut merasakan efeknya dan mulai menyebarkan kabar mengenai “obat ajaib” tersebut.
Bertahun-tahun kemudian, temuan ilmiah membuktikan bahwa minyak ular air Tiongkok mengandung kadar tinggi asam lemak omega-3, khususnya eikosapentaenoat (EPA) yang terbukti mampu mengurangi peradangan dan berpotensi menurunkan risiko berbagai penyakit kronis.
Studi di Jepang bahkan menunjukkan bahwa tikus yang diberi minyak tersebut menunjukkan peningkatan fungsi kognitif dan kemampuan fisik dibandingkan dengan tikus yang diberi lemak babi. Temuan ini memperkuat validitas pengobatan tradisional yang dahulu dianggap hanya mitos.
Ketenaran minyak ular pun meluas di Amerika, dan permintaan terhadapnya meningkat. Namun, karena ular air Tiongkok tidak ditemukan di wilayah Amerika, banyak tabib lokal mengganti bahan utama tersebut dengan ular derik—jenis ular asli Amerika Utara yang ternyata hanya mengandung sedikit omega-3, jauh lebih rendah dibandingkan ular air Tiongkok.
Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan secara dramatis oleh Clark Stanley, sosok flamboyan yang menamakan dirinya Raja Ular Derik. Ia berkeliling dari kota ke kota, tampil dalam pertunjukan yang mencengangkan. Di hadapan kerumunan penonton, Stanley mengiris ular derik hidup-hidup, merebusnya, lalu menampung lemaknya dan menuangkannya ke dalam botol. Penonton yang terkesima pun mengantre untuk membeli minyak yang diyakininya berkhasiat.
Stanley mengklaim memperoleh pengetahuan tentang minyak ular dari dukun suku Hopi. Namanya melejit saat tampil dalam Pameran Dunia Kolumbia di Chicago tahun 1893—panggung yang turut mengukuhkan reputasinya. Ia kemudian mendirikan fasilitas produksi di Massachusetts dan Rhode Island, memperluas distribusi minyak ular ke berbagai penjuru negeri.
Namun, di balik segala pertunjukan dan popularitasnya, tersimpan kebohongan besar. Pada tahun 1917, pihak berwenang federal menyita produk Stanley dan melakukan pengujian. Hasilnya mengejutkan, tidak ditemukan kandungan minyak ular sedikit pun. Produk tersebut ternyata terdiri dari minyak mineral, lemak sapi, cabai, terpentin, dan kamper—jauh dari ramuan penyembuh yang dijanjikan. Stanley akhirnya dijatuhi denda karena praktik pemasaran yang menyesatkan.
Peristiwa ini menandai momen penting dalam perubahan makna “minyak ular” di Amerika. Dari ramuan tradisional yang memiliki dasar ilmiah dan khasiat nyata, istilah ini berubah menjadi sinonim bagi kepalsuan dan tipu daya. Sejak saat itu, “minyak ular” tak lagi dipandang sebagai obat, melainkan sebagai simbol segala hal yang menyesatkan, mulai dari produk kesehatan palsu hingga retorika politik tanpa isi.
Kisah ini menjadi pelajaran tentang bagaimana warisan budaya bisa dimanipulasi dan kehilangan makna aslinya ketika berada di tangan pihak yang hanya mengejar keuntungan. Di balik istilah yang kini sering dianggap lelucon, tersimpan cerita tentang pengetahuan tradisional yang valid namun terdistorsi oleh kepentingan dan kebohongan. (LSA)