Meretas Luka Kolonial: Frantz Fanon dan Revolusi Jiwa

ALJIR | Priangan.com – Penjajahan selalu meninggalkan jejak panjang, bukan hanya dalam bentuk kemiskinan atau kehancuran, tetapi juga luka batin yang sulit disembuhkan. Rasa minder, terasing dari budaya sendiri, hingga keyakinan bahwa penjajah lebih unggul sering menghantui masyarakat yang pernah ditindas. Jejak semacam ini tidak asing bagi banyak bangsa. Di belahan dunia lain, ada seorang tokoh yang dengan lantang membongkar luka-luka itu dan memperjuangkan pembebasan manusia seutuhnya, ia adalah Frantz Fanon.

Lewat tulisannya, Fanon mengajak dunia melihat kolonialisme dari sisi dampaknya terhadap jiwa manusia. Melalui buku Black Skin, White Masks (1952) dan The Wretched of the Earth (1961), ia menuliskan bahwa penjajahan bukan sekadar perebutan tanah dan kekuasaan, melainkan juga perang terhadap identitas, harga diri, dan kebebasan berpikir. Tapi Fanon tidak berhenti sebagai penulis, ia memilih jalan berbahaya dengan turun langsung dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair, menjadikan kata-katanya nyata dalam tindakan.

Dilansir dari RT News, perjalanan hidup Fanon dimulai jauh dari Aljazair. Ia lahir pada 20 Juli 1925 di Fort-de-France, Martinique, sebuah pulau kecil di Laut Karibia yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Prancis. Dari keluarga kelas menengah sederhana, ia bersekolah di Lycee Victor Schoelcher, salah satu sekolah terbaik di pulau itu. Di sinilah ia bertemu dengan Aime Cesaire, penyair yang kelak memperkenalkan konsep negritude, gagasan tentang kebanggaan atas identitas kulit hitam.

Pendidikan memberi Fanon bekal, tetapi lingkungan kolonial tetap memperlihatkan kenyataan pahit: diskriminasi rasial, kelangkaan pangan akibat perang, dan represi politik.

Pada usia 18 tahun, Fanon mengambil keputusan besar. Ia meninggalkan Martinique, menyeberang ke Dominika, dan bergabung dengan pasukan Perlawanan Prancis di bawah pimpinan Jenderal Charles de Gaulle. Ia ikut serta dalam Perang Dunia Kedua, terluka parah di Alsace tahun 1944, dan menerima penghargaan Croix de Guerre.

Lihat Juga :  Lahir di Tengah Keterbatasan, Si Huma Hadir Sebagai Animasi Pertama Indonesia pada 1983

Tetapi pengalaman itu juga membuka matanya. Ia menyaksikan tentara kulit hitam dipinggirkan setelah kemenangan diraih, hanya karena warna kulit. Dari sini ia menyadari bahwa rasisme bukan kebetulan, melainkan bagian dari sistem kolonial yang meresap sampai ke militer.

Setelah perang, Fanon melanjutkan studi kedokteran di Lyon, Prancis. Ia mendalami psikiatri, tetapi juga haus pengetahuan lain, seperti hal hal seputar filsafat, sastra, hingga teater. Ia belajar dari tokoh besar seperti Francesc Tosquelles dan Maurice Merleau-Ponty.

Dari pergulatan itu lahir Black Skin, White Masks. Buku ini menolak pandangan bahwa kolonialisme hanya soal politik dan ekonomi. Bagi Fanon, kolonialisme juga mengatur pikiran manusia, menguasai bahasa, dan membentuk rasa rendah diri. Dengan analisis psikologi, ia menunjukkan bagaimana masyarakat terjajah teralienasi dari budayanya sendiri.

Lihat Juga :  Lahir di Tengah Keterbatasan, Si Huma Hadir Sebagai Animasi Pertama Indonesia pada 1983

Pada 1953, Fanon menerima tawaran bekerja di Rumah Sakit Jiwa Blida-Joinville di Aljazair. Saat itu, Aljazair masih koloni Prancis, dan setahun kemudian meletuslah perang kemerdekaan. Sebagai dokter, Fanon melihat langsung penderitaan rakyat yang hidup di bawah represi militer, sekaligus luka jiwa tentara Prancis yang terbiasa menggunakan kekerasan. Ia sampai pada kesimpulan bahwa kolonialisme adalah penyakit sosial yang melahirkan depersonalisasi, membuat manusia tercerabut dari tanah dan identitasnya.

Pada 1956, Fanon menulis surat pengunduran diri yang terkenal. Dalam surat itu, ia menyatakan bahwa ada saatnya ketika diam menjadi ketidakjujuran. Sehingga ia memilih meninggalkan pekerjaannya di bawah otoritas Prancis dan bergabung secara terbuka dengan Front Pembebasan Nasional (FLN). Sejak saat itu, hidupnya sepenuhnya didedikasikan untuk perjuangan kemerdekaan Aljazair.

Bersama FLN, Fanon menulis artikel perlawanan di surat kabar El Moudjahid, memimpin misi diplomasi ke berbagai negara Afrika, hingga diangkat sebagai duta besar Aljazair untuk Ghana. Ia berkeliling ke Accra, Conakry, Addis Ababa, Kinshasa, Kairo, dan Tripoli untuk mencari dukungan internasional. Identitasnya bahkan dilindungi dengan paspor atas nama Ibrahim Omar Fanon yang diberikan oleh Libya. Peran ini membuatnya bukan sekadar pemikir, tetapi juga aktor penting dalam jaringan revolusi anti-kolonial Afrika.

Lihat Juga :  Bayang Bayang Kekuasaan, Ternyata Nepotisme Sudah Ada Sejak Zaman VOC

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, Fanon menulis The Wretched of the Earth. Buku itu, yang disensor oleh pemerintah Prancis, secara terbuka membela hak bangsa terjajah untuk menggunakan kekerasan melawan penjajah. Baginya, selama penjajahan dipertahankan dengan napalm, senjata, dan represi, maka kebebasan hanya bisa diperoleh dengan perlawanan setara. Pandangan ini memang kontroversial, tetapi memberi semangat pada gerakan revolusi di banyak negara.

Sayangnya, kesehatan Fanon memburuk. Ia didiagnosis menderita leukemia dan sempat menjalani perawatan di Uni Soviet sebelum kemudian ke Amerika Serikat. Pada 6 Desember 1961, ia meninggal di Bethesda, Maryland. Sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Aljazair dan dimakamkan di pemakaman para martir di Ain Kerma.

Meski hidupnya singkat, warisan Fanon panjang dan dalam. Ia membuka mata dunia bahwa kolonialisme tidak hanya soal kekuasaan politik, tetapi juga luka psikologis dan sosial yang mengekang manusia. Ia meninggalkan pesan bahwa revolusi bukan hanya soal senjata, melainkan juga pembebasan jiwa dan harga diri. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos