TEGAL | Priangan.com – Pada 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, sebuah momen yang mengingatkan kita akan perjuangan Raden Adjeng Kartini dalam memperjuangkan hak perempuan. Namun, dalam bayang-bayang perjuangan itu, ada kisah tragis yang melibatkan adik kandung Kartini, Raden Adjeng Kardinah, yang menjadi korban kekejaman kaum radikal di Tegal.
Kisah ini merupakan bagian dari sejarah kelam Indonesia yang mengingatkan kita akan betapa brutalnya perpecahan dan radikalisasi di masa lalu.
Pada masa-masa kelam sejarah Indonesia, kekerasan dan kekejaman memang menjadi bagian dari kisah bangsa ini. Banyak nyawa melayang akibat konflik dan radikalisasi yang melanda.
Salah satu kisah tragis yang tercatat dalam sejarah adalah perjuangan seorang bupati di Tegal, Soenarjo, yang menjadi korban kekejaman kaum radikal yang mengatasnamakan revolusi.
Soenarjo, menantu dari Raden Adjeng Kardinah, adik kandung Raden Adjeng Kartini, menjadi incaran kelompok revolusioner yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada masa itu, PKI melihat bupati sebagai simbol kekuasaan feodal yang harus dilawan. Mereka merasa bahwa dengan membunuh Soenarjo, mereka bisa menguasai Tegal. Tindakan mereka pun semakin brutal.
Pada 13 Oktober 1945, sekelompok orang tak dikenal mendatangi kediaman Soenarjo. Mereka mencari bupati yang saat itu tidak ada di rumah. Namun, kedatangan mereka bukan hanya untuk mencari Soenarjo, melainkan untuk merusak segala sesuatu yang dianggap mewakili feodalisme. Seragam kebesaran milik Soenarjo dirobek-robek dengan penuh kebencian.
Saat itu, Raden Adjeng Kardinah, yang berusia 64 tahun, tengah berada di rumah anak dan menantunya. Ia menyaksikan semua kejadian mengerikan itu. Meskipun sudah tua, Kardinah tetap berusaha tenang.
Namun, kemarahan PKI yang tidak menemukan Soenarjo beralih kepada dirinya. Kardinah dan keluarganya ditangkap dan diperlakukan dengan kejam.
Pakaian mereka dilucuti dan digantikan dengan pakaian dari goni. Mereka diarak keliling kota sebagai tontonan. PKI ingin mempermalukan mereka di depan publik.
Meskipun kondisi fisik Kardinah sudah sangat lemah, ia berusaha bertahan. Ketika arak-arakan berlangsung, ia mengeluh kesakitan, dan massa menghentikan perarakan.
Perarakan itu berhenti di depan Rumah Sakit Kardinah, sebuah rumah sakit yang didirikan oleh Kardinah sendiri beberapa dekade sebelumnya.
Meski ia mengalami penghinaan, Kardinah tidak menjadi korban penyiksaan atau pembunuhan. Sayangnya, dampak psikologis yang harus ia rasakan sangatlah besar. Setelah kejadian itu, Kardinah memutuskan untuk meninggalkan Tegal.
Ia menghabiskan masa tuanya di Salatiga, jauh dari kenangan kelam tersebut. Pada 5 Juli 1971, Kardinah meninggal dunia di usia 90 tahun. Meskipun kisahnya penuh luka, ia tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah kelam Indonesia. Kisahnya menjadi pengingat akan kekejaman yang terjadi dalam pergolakan masa lalu. (LSA)