Menyelami Agama Malesung: Jejak Spiritualitas Leluhur Minahasa

MINAHASA | Priangan.com – Indonesia menyimpan begitu banyak cerita tersembunyi di balik keberagaman budayanya. Di tanah Minahasa, Sulawesi Utara, hidup sebuah tradisi spiritual kuno yang terus bertahan di tengah gempuran zaman modern.

Agama Malesung, warisan leluhur bangsa Minahasa, bukan sekadar kepercayaan, melainkan jalinan erat antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi.

Agama ini dikenal dengan banyak nama Kanaraman, Kapelian, Agama Tonaas Walian, Agama Makatana, hingga Opoisme. Ia lahir jauh sebelum sejarah tertulis, di masa Karema, Lumimuut, dan Toar. Tidak ada catatan tentang siapa pendirinya.

Kepercayaan ini hidup dan berkembang lewat tradisi lisan dan praktik sehari-hari.

Seluruh bangsa Minahasa zaman dulu memeluk kepercayaan ini. Mereka percaya pada satu Mahakuasa, Empung Wailan Wangko, sang pencipta alam semesta. Hubungan dengan Sang Pencipta dijalankan melalui para Walian, pemimpin spiritual di setiap kampung.

Tempat ibadah dalam Agama Malesung tidak terikat pada satu lokasi. Setiap tanah yang sakral seperti tempat lahir kampung atau makam pemimpin bisa menjadi tempat suci.

Watu Pinabetengan adalah salah satu situs yang sangat dihormati. Namun, ibadah sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, selama tempat itu dijaga dengan hormat.

Bagi penganut Malesung, hidup di dunia adalah sebuah perjalanan singkat. Dunia ini hanyalah persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan ke alam berikutnya. Orang yang menjalani hidup sesuai ajaran leluhur akan beristirahat di Kasendukan atau Karondoran. Sedangkan mereka yang hidup dalam kejahatan akan tersesat tanpa tujuan.

Nilai-nilai kehidupan diwariskan lewat Nuwu’ in tu’a, pesan-pesan luhur para leluhur. Ajaran ini menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, menuntun manusia untuk hidup selaras dengan alam dan sesamanya.

Kini, semangat menjaga kepercayaan ini tetap menyala melalui komunitas Lalang Rondor Malesung, atau Laroma. Komunitas ini berdiri pada tahun 2016 di Desa Tondei, Motoling Barat, Minahasa Selatan.

Lihat Juga :  Soeta Ono, Sang Macan Rimba Penantang Penjajah

Sejak pengakuan resmi negara terhadap kepercayaan lokal pada 2017, Laroma menjadi simbol perjuangan identitas spiritual suku Minahasa.

Dalam ajarannya, Laroma menekankan hubungan yang personal dan hangat dengan Sang Pencipta. Hubungan ini digambarkan seperti ikatan orang tua dan anak, dengan para leluhur sebagai perantara. Nilai kemanusiaan “Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain menjadi napas dalam setiap langkah mereka.

Lihat Juga :  Perang Bubat; Antara Cinta, Ambisi, dan Kehancuran Majapahit

Penghayat Agama Malesung hidup dengan lima kesetiaan, lima wawasan moral, dan sembilan wejangan yang membimbing perilaku mereka.

Ritual-ritual spiritual, seperti Meru Nubat, dilakukan di alam terbuka. Bagi mereka, suara angin, gemericik air, dan bisik pepohonan adalah bahasa Sang Ilahi.

Perjalanan mempertahankan kepercayaan ini tidak mudah. Tokoh-tokoh seperti I Sual, Ketua Umum Laroma, merasakan langsung tantangan, penolakan, bahkan cibiran.

Namun, semangat menjaga warisan leluhur tidak pernah surut. Kini, bersama organisasi seperti MLKI, Gema Pakti, dan Puanhayati, para penghayat Agama Malesung berdiri semakin kuat. Mereka memperjuangkan hak untuk diakui, didengar, dan dihargai dalam keberagaman bangsa.

Agama Malesung adalah cermin bahwa kekayaan Indonesia bukan hanya soal jumlah suku atau bahasa. Ia juga tentang banyaknya cara manusia memaknai hubungan dengan Tuhan. Dalam keberagaman ini, kita diajak untuk saling menghormati, merayakan perbedaan, dan memperkuat persaudaraan. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos