TASIKMALAYA | Priangan.com — Pemerintah Kota Tasikmalaya menegaskan komitmennya untuk menjadikan wilayahnya bebas dari praktik pemasungan terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Melalui berbagai strategi, mulai dari layanan konseling di tingkat Puskesmas hingga sistem jemput bola, Dinas Kesehatan bertekad memastikan hak-hak dasar para penyintas gangguan jiwa terpenuhi secara bermartabat.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, dr. Uus Supangat, menyebutkan bahwa stigma dan minimnya pemahaman masyarakat menjadi akar dari masih adanya tindakan pengasingan bahkan pemasungan terhadap ODGJ di beberapa wilayah.
“Masih banyak keluarga yang malu atau takut membawa anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa ke fasilitas kesehatan. Alhasil, beberapa di antaranya malah dikurung di tempat tidak layak, bahkan dipasung. Ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Uus saat ditemui, Rabu (25/6/2025).
Untuk memutus praktik tersebut, Dinas Kesehatan kini memperluas layanan kesehatan jiwa dengan menempatkan tenaga konselor di seluruh Puskesmas yang ada.
Tidak hanya menunggu pasien datang, para petugas juga secara aktif melakukan kunjungan ke lingkungan warga berdasarkan laporan masyarakat atau RT/RW setempat.
“Kami tidak menunggu mereka datang, karena dalam kondisi tertentu ODGJ tidak bisa atau tidak diizinkan keluarganya untuk berobat. Maka kami yang mendatangi. Ini bagian dari pendekatan kemanusiaan,” tegas Uus.
Ia menambahkan, jika masih ditemukan praktik pemasungan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. “Sekarang sudah ada aturan. Siapa pun, bahkan keluarga, yang membiarkan atau melakukan pemasungan bisa dikenai sanksi pidana,” tambahnya.
Uus juga mendorong masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap layanan psikiatri. Ia menegaskan, tidak semua orang yang berkonsultasi ke psikiater adalah ‘gila’, sebagaimana stigma yang masih melekat.
“Orang datang ke psikiater itu bisa karena stres, trauma, bahkan sekadar ingin mengembangkan bakat anak atau memahami fase tumbuh kembang remaja. Konseling jiwa itu bagian dari kesehatan secara utuh, sama pentingnya dengan kesehatan jantung atau paru-paru,” paparnya.
Untuk pasien dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan intensif, Kota Tasikmalaya saat ini mengandalkan layanan poli jiwa yang tersedia di RS Hj. Siti Muniroh atau RS Yarsy di Kecamatan Tamansari. Keberadaan poli ini menjadi terobosan signifikan, mengingat sebelumnya pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi di Bogor.
Namun, kemajuan ini menghadapi tantangan serius: keterbatasan daya tampung. “Fasilitas di RS Yarsy saat ini hanya bisa menampung 7 hingga 12 pasien dalam satu waktu. Padahal, pasien yang dirujuk bukan hanya dari Kota Tasikmalaya, tapi juga dari Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, bahkan daerah lain,” ujar Uus.
Kondisi overload tersebut menyebabkan tidak sedikit pasien dari Kota Tasikmalaya harus antre bahkan gagal mendapatkan tempat. Menyikapi ini, Dinas Kesehatan akan berkoordinasi lebih lanjut dengan manajemen RS Yarsy agar ada penambahan fasilitas dan tenaga medis, mengingat pelayanan ini kini menjadi andalan.
“Kami ingin agar RS Yarsy memperluas kapasitasnya, baik dari segi tempat tidur, tenaga spesialis, maupun ruang rawat yang sesuai standar perawatan kejiwaan. Ruangan untuk pasien jiwa tidak bisa disamakan dengan pasien umum, perlu desain dan pendekatan khusus,” jelasnya.
Uus menekankan bahwa keberhasilan penanganan ODGJ sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Perubahan pola pikir, dukungan keluarga, serta kepedulian lingkungan menjadi kunci dalam membebaskan para penyintas dari penderitaan ganda—baik secara mental maupun perlakuan sosial.
“Kita semua bertanggung jawab. Jangan lagi ada pemasungan di Tasikmalaya. Mereka bukan ancaman, mereka adalah warga kita yang sedang butuh pertolongan,” tutup Uus. (yna)