JAKARTA | Priangan.com – Perkembangan mata uang di Nusantara memiliki riwayat panjang yang kerap luput dari perhatian publik. Di antara peninggalan yang masih dapat dijumpai hingga kini, Picis dari Cirebon menjadi salah satu bukti bagaimana sebuah kerajaan di pesisir utara Jawa mengelola kegiatan ekonominya sejak berabad-abad lalu. Pada masa ketika kemerdekaan masih jauh di depan mata, Kasultanan Cirebon telah memanfaatkan uang logam sebagai alat tukar dalam kegiatan perdagangannya.
Pada abad ke-17, pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai titik temu bagi para pedagang dari berbagai negara. Arus kapal yang melintas di jalur Laut Jawa menjadikan kota ini ramai oleh aktivitas niaga. Kondisi tersebut mendorong kebutuhan akan alat pembayaran yang mudah digunakan pada transaksi sehari-hari. Dari sinilah Picis mulai diedarkan sebagai uang resmi di wilayah tersebut.
Seorang sejarawan lokal mengatakan, “Picis menjadi bukti bahwa Cirebon sudah memiliki tata kelola ekonomi yang tertata sejak masa lampau.”
Penggunaan Picis menandai kemampuan Kasultanan Cirebon dalam mengatur roda perdagangannya sendiri. Mata uang ini membantu proses jual beli di pasar dan pelabuhan, serta memperlihatkan bahwa Cirebon bukan sekadar wilayah singgah bagi para pedagang, melainkan pusat perdagangan yang cukup berpengaruh.
Ciri fisik Picis menunjukkan keunikan tersendiri. Koin ini dibuat dari logam timah dengan bentuk yang tipis, sehingga mudah patah jika tidak disimpan dengan hati-hati. Bagian tengahnya berlubang, baik berbentuk segi empat maupun lingkaran, sehingga memudahkan para pedagang mengikat beberapa koin menjadi satu untuk dibawa dalam jumlah banyak.
Di sekeliling lubang tersebut tertera tulisan berhuruf Cina atau Latin yang menunjukkan asal pembuatannya. Desain sederhana ini mencerminkan perpaduan budaya yang berlangsung di wilayah pesisir, tempat berbagai bangsa bertemu dan berinteraksi. Warna koin yang kusam keperakan menjadi ciri khas logam timah yang digunakan pada masa itu.
Dalam aktivitas perdagangan, Picis berfungsi sebagai alat pembayaran untuk berbagai jenis barang seperti rempah-rempah, kain maupun kebutuhan pokok lainnya. Nilai koin disesuaikan dengan jumlah serta ukuran yang dibawa oleh para pedagang. Penggunaannya tak hanya terbatas pada warga lokal, tetapi juga pendatang dari luar wilayah yang memanfaatkan pelabuhan Cirebon sebagai titik transaksi.
Seorang peneliti numismatik menyampaikan, “Tulisan Cina pada Picis menandakan adanya keterlibatan pengrajin Tiongkok dalam proses pembuatannya.”
Masuknya pengaruh budaya asing terlihat dari pilihan alfabet yang digunakan. Koin bertuliskan huruf Latin dengan nama daerahnya menunjukkan bagaimana interaksi dagang dengan bangsa Eropa turut memengaruhi perkembangan desain mata uang tersebut. Perpaduan unsur budaya ini memperlihatkan keterbukaan masyarakat pesisir dalam menerima keberagaman.
Seiring berlalunya waktu, Picis tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Namun keberadaannya semakin bernilai bagi para kolektor dan museum. Koin ini dianggap memiliki tempat penting dalam sejarah moneter Indonesia karena menggambarkan dinamika perdagangan masa lampau. Beberapa lembaga menyimpannya sebagai bagian dari pameran mata uang kuno untuk memperkenalkan perjalanan ekonomi Nusantara kepada pengunjung.
Kini Picis menjadi artefak yang diburu karena kelangkaannya, sekaligus penanda bahwa sistem ekonomi di wilayah Nusantara telah berkembang jauh sebelum Indonesia memiliki mata uang nasional. Picis menghadirkan kembali gambaran tentang peran Cirebon sebagai pelabuhan yang aktif dan strategis pada abad-abad sebelumnya. (wrd)

















