Oleh: Muhajir Salam
TASIKMALAYA | Priangan.com – Pada pertengahan abad XII, sepeninggal Batari Hiyang, kepemimpinan di Kerajaan Galunggung diteruskan oleh puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa. Kepemimpinannya hanya berjalan selama lima tahun. Darmawiyasa kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Darmakusumah. Kekuasaannya berkedudukan di Galunggung, meliputi Galuh, Galunggung, dan Sunda. Karena menguasai tiga kerajaan, Darmakusumah bergelar Maharaja. Pemerintahannya berjalan selama 18 tahun, dibantu oleh adiknya yang bernama Mangkubumi Adimurti.
Akhir abad XII, Prabu Guru Darmasiksa menggantikan ayahnya, Darmakusumah. Meneruskan tahta leluhurnya, Prabu Guru Darmasiksa menguasai kerajaan Sunda, Galuh, dan Galunggung. Awalnya, Darmasiksa mengendalikan kekuasaannya di Saunggalah. Namun, pertengahan kepemimpinannya, Darmasiksa memerintah Galunggung, Galuh, dan Sunda di Pakuan. Ada dua pendapat mengenai posisi Saunggalah. Sebagian berpendapat Saunggalah berada di Kuningan. Sebagian lagi, Saunggalah adalah keraton yang berada di Rumantak, pusat kerajaan di lereng Gunung Galunggung. Kedua pendapat itu memiliki bukti untuk memperkuat argumentasinya.
Prabu Guru Darmasiksa adalah tokoh yang meneruskan tradisi kabuyutan Galunggung. Amanat-amanatnya dijadikan ageman kehidupan orang Sunda. Amanatnya memuat ajaran moral kehidupan yang berbicara berbagai hal baik politik, sosial, ekonomi, maupun budi pekerti.
Ajaran Darmasiksa terkompilasi dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang diakui sebagai naskah Sunda kuno paling lengkap. Naskah SSKK kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nama register Kropak 630. Naskah ini bertitimangsa nora catur sagara wulan (0-4-4-1), yang berarti tahun 1440 Saka atau 1518 M, terdiri atas 30 lembar daun nipah, ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno, menggunakan pisau pangot. Sayang tak ada keterangan siapa penulis naskah ini.
Melihat titimangsa di atas, jelas naskah prosa ini ditulis semasa Sri Baduga Maharaja memerintah di Pakuan. Hal ini diperkuat oleh kata “mesir”, “dinah” (Madinah), dan “mekah” yang tertulis pada teks, yang mengisyaratkan bahwaislamisasi telah ada pada kurun ketika naskah ditulis. Pada awal abad ke-16. Naskah ini pertama dikaji oleh Holle dan Noorduyn. Transliterasi, terjemahan, beserta ulasannya disajikan oleh Atja dan Danasasmita (1881) dalam bentuk stensilan, lalu diterbitkan dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk (1987).
Naskah SSKK pada mulanya diangap sebagai naskah tunggal (codex uniqum) oleh Atja dan Saleh Danasasmita. Alasannya karena memang belum banyak naskah kuna lainnya yang terkaji. Tapi ternyata dalam upaya re-katalogisasi koleksi Perpustakaan Nasional RI yang diusahakan oleh Holil dan Gunawan (2008), ditemukan naskah-naskah yang belum tercatat dalam katalog-katalog sebelumnya, serta naskah yang belum diteliti. Salah satu naskah yang belum diteliti yaitu koropak 624, berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Menurut keterangan koropak 624 tersebut merupakan pemberian Bupati Bandung. Dari keterangan tersebut ternyata naskah SSKK bukan Cuma satu (codex uniqum), seperti yang disebutkan oleh Atja dan Saleh Danasasmita.
Perbedaan antara naskah SSKK koropak 630 dan naskah SSKK koropak 624, yakni pada aksara dan media tulisnya. Koropak 630 ditulis di daun nipah (atau disebut juga daun gebang) memakai aksara Buda/Gunung, sedangkan koropak 624 ditulis pada lontar, memakai aksara Sunda kuna. Menurut hasil penelitian tentang tradisi tulis Sunda kuna sebagaimana disebutkan dalam naskah Sanghyang Sasana Maha Guru, didapat keterangan bahwa naskah yang ditulis pada daun nipah hanya dipergunakan di lingkungan kabuyutan, dianggap sakral, tidak bisa sembarang dibuka oleh setiap orang dan setiap waktu. Sedangkan naskah yang ditulis pada daun lontar, kemungkinan lebih tersebar ke masyarakat luas, menjadi pegangan banyak orang, tak hanya di lingkungan kabuyutan.
Sanghyang Siksa Kandang Karesian, artinya adalah “Ajaran untuk Para Calon Resi”. Kata “Siksa” adalah bahasa Sunda serapan dari kata siksa bahasa Kawi yang berarti pendidikan atau ajaran. Jadi Siksa Kandang Karesian adalah siksa = pendidikan, kanda (ng) = tempat belajar, karesian = cerdik-cendikia atau resi. Kata siksa yang terdapat dalam bahasa Indonesia, tentu berasal dari bahasa Sunda. Berhubung dalam pendidikan (siksa) itu, para pelajar atau calon resi yang malas dipukuli dengan peralatan kanda, sejenis gada atau cambuk, maka belakangan kata‘siksa’ dalam bahasa Sunda, yang kemudian diterima bahasa Indonesia, berubah arti menjadi ‘derita yang dialami karena hukuman tertentu’.
Jika kita membaca naskah SSKK, maka akan didapat banyak gambaran yang sangat luas tentang kondisi secara umum masyarakat dan pemerintahan pada masa ketika Prabu Guru Darmasiksa bertahta, yang kemudian juga menjadi petunjuk gambaran pada masa kerajaan Sunda Pajajaran, karena naskah ini ditulis pada (memiliki candrasangkala) 1440 Saka, bersamaan dengan tahun Masehi 1518, yakni zaman akhir Pajajaran. Baik tentang sosial kemasyarakatan, sosial budaya, agama, dan pemerintahan.
Karena naskah SSKK ini bersumber pada ajaran Prabu Guru Darmasiksa, maka bisa dibayangkan saat membaca isi naskah, bahwa demikianlah keadaan kerajaan Galunggung, lalu kerajaan Sunda, dan kehidupan masyarakatnya pada masa tersebut.
Pada jaman tersebut sudah ada sistem pemerintahan yang hirarkis, sudah ada ilmu perang dengan sistem perang yang mengenal sejumlah tertentu siasat tempur. Kemudian sistem religi di masyarakat Sunda pra-Islam mengenal sistem agama Sunda-Hindu di samping sistem Sunda-Buda. Rupa-rupanya sistem-sistem agama Sunda pra-Islam itu mencerminkan sinkretisme agama-agama pendatang dengan sistem kepercayaan pribumi, antara lain kepercayaan yang berhubungan dengan pemujaan nenek moyang. Masing-masing agama itu mengenal kepustakaan sucinya masing-masing. Pengetahuan geografis di masa itu juga ternyata tidak seremeh yang mungkin orang duga. Telah dikenal banyak bahasa asing dan juga telah ada juru alih-bahasa (penerjemah). Kemudian telah dikenal juga macam- macam lakon dan adanya kepustakaan tertulis, serta keraton dan mandala (kabuyutan) pernah menjadi pusat-pusat kebudayaan dan pengetahuan.13
Naskah SSKK terdiri atas dua bagian ini bersifat didaktis, penuh aturan, wejangan, serta petunjuk religius dan moral bagi pembaca. Bagian pertama terdiri dari berbagai nasihat, di antaranya yang disebut Dasakreta sebagai “kundangeun urang reya” (pegangan orang banyak). Sedangkan bagian kedua yang disebut Darmapitutur berisikan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogyanya dimiliki semua orang agar hidupnya berguna. Bahkan di bagian akhirnya disebutkan Sewaka Darma sebagai sumber pegangan ahlak. Kemungkinan besar, naskah ini mengacu kepada naskah yang lebih tua yaitu Sewaka Darma (kadang ditulis Sewa ka Darma).
Pada bagian Dasakreta, terdapat ajaran tentang tingkah laku, susila, dan bagaimana kita harus menjaga martabat kemanusiaan agar hidup berguna dan dihargai oleh orang lain. Petikan terjemahannya berbunyi demikian:
Ini sanghiyang dasa kreta yang disebutkan sebagai bayang-bayang sanghiyang dasa sila, ya maya-maya sanghiyang dasa marga. Perwujudan dasa indera. Inilah kenyataannya.
Telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran.
Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak dipandang karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila mata terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam penglihatan.
Kulit jangan digelisahkan karena panas ataupun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit.
Lidah jangan salah kecap karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari lidah.Hidung jangan salah cium karena menjadi pintu bencana penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka: namun bila hidung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari hidung.
Mulut jangan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari mulut.
Tangan jangan sembarang ambil karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tangan terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tangan.
Kaki jangan sembarang melangkah karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila kaki terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kaki.
Tumbung14 jangan dipakai keter15 karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tumbung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tumbung.
Baga-purusa16 jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyabab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila baga-purusa terpelihara, kita akan memperoleh keutamaan dari baga dan purusa, Ya itulah yang disebut dasa kreta. Kalau sudah terpelihara pintu (nafsu) yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikian pula perbuatan sang raja.
Kemudian disebutkan juga Pancagati, yakni lima penyakit atau sikap yang harus dihindari oleh manusia agar terhindar dari bencana dan penilaian buruk dari orang lain. Pancagati adalah sikap serakah, kebodohan, kejahatan, takabur, dan keangkuhan.
Dalam naskah SSKK, nasihat atau ajaran yang tertulis tak hanya ditujukan kepada calon resi, tetapi juga untuk masyarakat umum, atau rakyat kerajaan, agar bisa menjaga perilaku, baik di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, atau yang hubungannya dengan raja atau pemerintahan. Pada bagian lain, tertulis nasihat tentang pola hidup sederhana, petikannya demikian:
Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa. Demikian pula (mengenai) kejujuran anak-isteri. jangan bersikap pembeli hati supaya tidak hanya tampaknya saja berbuat. Bila kita berhasil mengajarinya dan menuruti nasihat, itulah anak kita, isteri kita. Bila tidak menuruti nasihat, mereka itu sama saja dengan orang lain. Namun bila tetap bandel, isteri dan anak yang demikian, sudahlah jangan kita aku. Pasti kita mendapat beban.
Melalui naskah SSKK juga kita bisa mendapat gambaran tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesenian yang berkembang pada masa itu. Kakawihan, cerita pantun, cerita wayang, motif batik, dll., disebutkan dengan terang. Sayangnya, dari sekian banyak jenis dari kesenian tersebut, beberapa sekarang mungkin sangat sukar ditelusuri wandanya.
Misalnya tentang cerita wayang yang dibawakan oleh seorang dalang (dalam naskah disebut memen), disebutkan beberapa judul, yakni Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa. Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri. Bisa dibayangkan, pada jaman itu kesenian wayang telah berkembang dengan baik, menilik dari banyaknya cerita yang biasa dibawakan oleh dalang. Tidak disebutkan, apakah pagelarannya mempergunakan boneka seperti wayang golek atau wayang kulit, atau tidak. Tetapi cerita yang disebut seperti Ramayana, memberi keterangan jelas bahwa yang dibawakan oleh seorang memen atau dalang ini, adalah cerita wayang.
Gambar. Rumah Sunda di Indihiang Tasikmalaya tahun 1870.
Kemudian disebutkan juga beberapa judul lagu seperti kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih tangtung, kawih sasambatan, kawih igel-gelan. Ternyata seni kawih telah ada dan menjadi sumber hiburan masyarakat pada waktu itu. Lagu-lagu yang tercantum judulnya pada naskah SSKK tampaknya lagu yang diciptakan bukan hanya sekadar untuk kelangenan, tetapi sebagai sebuah karya cipta, karya seni, yang tercatat dengan baik dalam literatur yang ada pada saat itu. Ahli karawitannya disebut Paraguna. Seni gambar atau seni lukis, juga menjadi bagian dari kesenian yang tercantum dalam SSKK. Pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan. urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate, adalah macam-macam lukisan yang disebut dalam SSKK.
Selain seni pedalangan, seni lukis, dan seni kawih, seni permainan atau kaulinan juga tampak berkembang dengan baik. Terdapat beberapa kaulinan yang disebutkan yakni ceta maceuh. ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang- ubangan, neureuy panca, munikeun lembur, ngadu lisung, asup kana lantar, dan ngadu nini. Bentuk permainannya tentu sangat sulit dilacak, karena nama-nama permainan tersebut sekarang sudah tidak dikenali lagi. Tapi dulu, bahkan ada tokoh yang sangat mengerti dan menjadi ahli dalam seni kaulinan ini, yakni yang disebut Hempul.
Kesenian pantun18 sebagai kesenian buhun, tampaknya telah ada sejak jaman Kerajaan Galunggung, dan kemudian berkembang saat jaman Kerajaan Sunda Pajajaran. Dalam SSKK disebut julukan untuk juru pantun, yakni Prepantun. Beberapa judul pantun yang disebutkan adalah Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi.
Pada bagian lain, naskah SSKK juga “menunjukkan” beragam jenis hasil tempaan Panday (pandai besi). Misalnya, kujang. Benda tajam sejenis arit dengan bentuk unik dan khas itu, dalam SSKK disebut sebagai ganggaman sang wong tani, alat yang biasa dipergunakan oleh para petani. Saat ini, kujang menjadi ‘senjata’ kebanggaan warga Jawa Barat. Menjadi simbol dari kesundaan, dahulu ternyata kujang adalah pekakas para petani. Beragam jenis ganggaman tercatat dalam naskah ini. Ganggaman yang biasa dipunyai Sang Prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Kemudian untuk para petani: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Sedangkan ganggaman untuk sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, pada pendeta.
Kehidupan manusia tentu tak akan berlangsung tanpa makanan. Untuk urusan kuliner, cita rasa menjadi satu hal yang penting, selain makanan sebagai sumber gizi. Dan melihat dari beragamnya nama makanan yang disebut dalam SSKK, patutlah kita percaya, bahwa sejak jaman dahulu urusan makan adalah juga menyangkut seni memasak. Meracik bahan makanan dengan bumbu-bumbu, hingga mampu menerbitkan selera. Juru masak jaman dahulu dalam SSKK disebut Hareup Catra. Beberapa nama makanan yang disebutkan adalah: nyupar-nyapir, rara mandi, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis.
Batik sebagai kekayaan budaya bangsa kita sekarang, merupakan warisan dari para karuhun. Meski tidak disebutkan sebagai batik (mungkin istilah batik belum dikenal pada masa itu) tapi yang dimaksud boeh dalam SSKK, sudah tentu adalah kain yang diberi gambar motif seperti halnya kain batik. Karena di tatar Sunda, setidaknya jika dilihat hingga beberapa tahun silam, tidak dikenal kain tenuh bermotif seperti yang terdapat di suku Dayak, Bugis, atau yang lainnya. Yang ada adalah kain batik dengan motif-motifnya yang khas, seperti terdapat di Tasikmalaya, Garut, Cirebon, dll. Dalam naskah ini disebutkan beragam nama motif, seperti kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh. gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, dan ragen panganten. Sedangkan ahlinya disebut Pangeuyeuk.
Sebuah negara tentu punya pasukan perang. Angkatan bersenjata yang akan selalu siap siaga menyelamatkan negara jika ada serangan. Karuhun kita jaman dahulu telah punya strategi perang. Ada beberapa siasat tempur yang disebutkan dalam SSKK, yakni makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, dan tapak sawetrik. Panglima perangnya disebut Hulujurit.
Selain ahli perang dan ahli-ahli yang memiliki kemampuan di bidang seni, dalam SSKK juga disebutkan beragam sebutan untuk mereka yang ahli di bidang masing-masing. Seperti ahli mantra disebut Brahmana, ahli mengukur tanah disebutMangkubumi, nahkoda atau ahli kelautan disebut Puhawang, orang yang terpelajar dan punya kemampuan baik dalam menghitung disebut Citrik Byapari, orang yang ahli dalam menguasai beragam bahasa, seorang penerjemah atau juru bahasa, disebut Sang jurubasa Darmamurcaya.
Sejak dahulu, nenek moyang atau karuhun kita, sudah punya pengetahuan geografis, pergaulan yang luas dan sadar akan pentingnya memiliki ilmu pengetahuan tentang negara lain. Setidaknya, dalam SSKK banyak negara atau daerah di “luar negeri” yang disebut, yang bahasanya dikuasai oleh para Darmamurcaya. Seperti Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak,Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, dan Jawa. Kemudian ada Bujangga, seorang yang menguasai bermacam pengetahuan warisan leluhur, dan ada Pratanda, yang ahli dalam ilmu agama.
Jaman dulu juga sudah ada perpustakaan atau pabukon, yang menyimpan beragam buku-buku suci berisi ilmu pengetahuan dan agama. Naskah-naskah ditulis pada lontar atau daun gebang (nipah), dan dijaga oleh seorang Pandita. Dalam SSKK disebutkan beberapa judul buku suci tersebut, seperti darma siksa, siksa kandang, pasuk-tapa, kadenaan, mahapawitra, siksa guru, dasa-sila, panca-siksa, guru talapakan, jagat upadrawa, jadu sakti, tato buwana, dan tato ajyana.
Naskah SSKK adalah ensiklopedia karuhun kita. Yang mengandung masalah-masalah pendidikan, pengetahuan umum, kesenian, kebudayaan, tata cara, kesehatan, dan kehidupan masyarakat Sunda sebelum Islam. Isinya yang sangat lengkap tersebut, memberikan gambaran kepada kita tentang kehidupan para karuhun kita di masa lalu. Meski SSKK ini ditulis pada 1440 Saka atau 1518 Masehi, yakni zaman akhir Pajajaran, tetapi naskah ini tentu bersumber dari kehidupan yang berlangsung sejak jaman Kerajaan Galunggung, bahkan mungkin dari masa yang jauh sebelumnya. Perkembangan peradaban tidak hadir dalam rentang waktu yang pendek, tetapi dibentuk oleh kurun waktu yang panjang, seiring dengan hadirnya berbagai peristiwa yang menjadi sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Naskah SSKK mencatat apa yang sudah ada pada waktu itu. Dan beragam hal yang ditulisnya, tentu sebagian atau bahkan semuanya telah ada sejak beberapa generasi sebelumnya.
Dari naskah SSKK atau Amanat Galunggung ini kita bisa sedikit “nganjang ka baheula”, melihat bagaimana laku hidup para pitarah kita. Sejak Galunggung berupa mandala atau kabuyutan, hingga menjadi sebuah kerajaan yang dalam perjalanannya tentu selalu bersentuhan dengan kerajaan Sunda atau Galuh, sebagaimana diterakan oleh catatan sejarah. ***