Mengulas Perjanjian Renville, Upaya Penyelesaian Konflik dengan Belanda

JAKARTA | Priangan.com – Upaya penyelesaian konflik antara Republik Indonesia dan Belanda memasuki tahap baru pada akhir 1947 setelah situasi di medan pertempuran terus menegang pasca agresi militer Belanda. Tekanan internasional melalui.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong kedua pihak kembali ke meja perundingan. Komite Jasa Baik yang dibentuk PBB kemudian memfasilitasi dialog yang berlangsung di atas kapal angkut Amerika USS Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta sejak Desember 1947.

Delegasi Republik Indonesia dipimpin Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, sedangkan Belanda diwakili pejabat tinggi administrasi kolonial. Perundingan berlangsung dalam suasana yang penuh kehati-hatian karena kedua pihak membawa kepentingan yang saling bertentangan.

Komite Jasa Baik menawarkan sejumlah usulan untuk meredakan ketegangan, termasuk pesan khusus yang disampaikan pada akhir Desember sebagai dasar kompromi awal menjelang penandatanganan.

Kesepakatan akhirnya dicapai pada 17 Januari 1948. Substansi perjanjian mencakup penetapan kembali garis demarkasi militer yang menjadi batas status quo setelah agresi Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Van Mook Line.

Ketentuan ini mengharuskan penghentian tembakan dalam waktu tertentu serta memberi kerangka politik yang mengarah pada pembentukan struktur negara yang lebih luas sesuai rancangan Belanda untuk federasi di wilayah Indonesia.

Penerapan garis demarkasi menjadi isu yang paling menonjol setelah perjanjian disahkan. Banyak pihak menilai wilayah Republik menjadi semakin terdesak dan rentan secara logistik.

Akses pangan, jalur komunikasi, dan hubungan administratif antara daerah-daerah Republik ikut terdampak karena sejumlah wilayah berada di luar kontrol pemerintah pusat akibat penetapan garis tersebut. (wrd)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos