BANYUWANGI | Priangan.com – Ada sebuah rangkaian kekerasan yang pernah mengoyak Banyuwangi pada 1998. Peristiwa itu bermula dari keresahan warga terhadap kematian hewan ternak yang dianggap berkaitan dengan praktik santet.
Kekhawatiran tersebut berkembang menjadi kecurigaan terhadap orang-orang yang dicap memiliki kemampuan supranatural. Dalam situasi politik dan ekonomi nasional yang bergejolak, isu tersebut membesar menjadi ketakutan massal.
Pada awal Februari 1998, pembunuhan pertama terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun tercatat di Banyuwangi. Sejak itu, kekerasan serupa menyebar ke berbagai desa. Warga mulai mengenal istilah “ninja” untuk menyebut para pelaku yang digambarkan berpakaian hitam dan beraksi pada malam hari.
Mereka menyerang orang-orang yang ditandai sebagai pelaku santet. Dalam perkembangannya, sasaran tidak hanya terbatas pada dukun, tetapi juga merambah guru ngaji, tokoh masyarakat, hingga beberapa pemuka agama yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan praktik supranatural.
Gelombang kekerasan berlangsung hingga September 1998. Banyak serangan terjadi ketika malam tiba. Korban didatangi kelompok orang tak dikenal, diseret keluar rumah, lalu dianiaya dengan senjata tajam. Kondisi ini membuat warga berjaga di depan rumah, saling mencurigai, dan hidup dalam suasana mencekam.
Ketakutan semakin besar setelah beredar informasi tentang radiogram pemerintah daerah yang meminta pendataan orang yang dianggap memiliki kemampuan supranatural. Instruksi itu ditujukan untuk mencegah kerusuhan, meski dalam praktiknya dijadikan dasar untuk memperluas target kekerasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Laporan berbagai lembaga menunjukkan bahwa rangkaian peristiwa tersebut menelan ratusan korban jiwa. Komnas HAM mencatat sekitar 309 orang tewas di berbagai wilayah Jawa Timur. Sebagian besar korban berasal dari Banyuwangi. Banyak keluarga kehilangan anggota keluarga tanpa proses hukum yang jelas. Mereka harus menanggung stigma sosial dan trauma yang panjang.
Hingga kini, dalang di balik serangkaian serangan itu belum terungkap secara tuntas. Pemeriksaan resmi baru dilakukan bertahun-tahun setelah kejadian. Sebagian dokumen penting hilang atau tak terlacak. Penjelasan yang muncul dalam berbagai laporan hanya menunjukkan bahwa situasi sosial saat itu membuat masyarakat rentan terhadap isu yang cepat menyebar tanpa verifikasi. (wrd)

















