BERLIN | Priangan.com – Setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman berdiri di atas reruntuhan yang nyaris mustahil dibayangkan. Kota-kota seperti Berlin, Dresden, dan Hamburg hancur lebur akibat pengeboman besar-besaran oleh Sekutu. Lebih dari 400 juta meter kubik puing menutupi rumah-rumah, sekolah, pabrik, gereja tua, hingga bangunan bersejarah dari abad pertengahan. Dalam kekacauan ini, membangun kembali negeri yang porak-poranda menjadi kebutuhan mendesak, bahkan sebelum bicara soal masa depan.
Di tengah kekosongan tenaga kerja karena banyaknya pria yang tewas atau ditawan, beban membersihkan sisa-sisa kehancuran jatuh ke tangan para perempuan. Mereka dikenal sebagai ‘Trümmerfrauen’, atau wanita puing.
Dengan mengenakan pakaian seadanya dan membawa palu godam, ember, hingga kerekan manual, mereka meruntuhkan bangunan yang tak lagi aman, mengangkat batu bata untuk digunakan kembali, dan memilah logam, kayu, serta barang-barang rumah tangga yang tersisa dari tumpukan reruntuhan.
Hari demi hari, mereka bekerja dalam kelompok, memindahkan puing dengan tangan, gerobak dorong, atau truk. Batu bata yang utuh dibersihkan dan ditumpuk, sementara sisa reruntuhan digunakan untuk menutup kawah bekas bom atau membentuk bukit-bukit buatan yang kini dikenal sebagai Schuttberge.
Pemandangan para wanita mengangkut beban berat di tengah dingin musim atau terik matahari menjadi simbol semangat rakyat Jerman yang tak ingin menyerah, bahkan ketika segalanya telah runtuh.
Namun di balik potret ketangguhan itu, sejarah menyimpan sisi lain yang jarang disorot. Seiring waktu, sejarawan mulai membongkar bahwa tak semua Trümmerfrauen hadir karena panggilan nurani. Banyak dari mereka adalah mantan fungsionaris Nazi yang diwajibkan bekerja oleh Sekutu sebagai bentuk pertanggungjawaban. Ada pula yang terdorong turun ke jalan karena kelaparan dan pengangguran. Bahkan di universitas seperti Freiburg, mahasiswa harus ikut membersihkan puing agar bisa kembali kuliah.
Menurut sejarawan Jerman Leonie Treber, Trümmerfrauen lebih merupakan simbol yang dibentuk melalui narasi resmi ketimbang kenyataan di lapangan. Pemerintah Jerman Timur maupun Barat memanfaatkan citra perempuan pembersih puing sebagai kampanye untuk membentuk semangat baru. Foto-foto merekayang tengah tersenyum sambil bekerja di tengah reruntuhan menyebar luas dan menciptakan kesan kepahlawanan yang melekat kuat dalam ingatan kolektif bangsa.
Padahal secara data, kontribusi perempuan dalam pekerjaan fisik itu jauh lebih kecil dari yang dibayangkan. Dalam perekrutan sukarela di Duisburg akhir 1945, misalnya, dari lebih dari 10.000 sukarelawan, hanya 50 di antaranya perempuan.
Berlin menjadi pengecualian karena ketimpangan jumlah penduduk pascaperang menyebabkan lebih banyak perempuan terlibat, sekitar 60.000 wanita. Tapi jumlah itu tetap hanya sekitar lima persen dari total populasi perempuan di kota tersebut.
Meski demikian, simbol Trümmerfrauen telah hidup dan tumbuh melampaui faktanya. Di berbagai kota, patung didirikan untuk mengenang mereka, dan beberapa bahkan menerima penghargaan tertinggi negara.
Trümmerfrauen menjadi citra perempuan tangguh yang membantu membangun negeri dari nol. Mereka tumbuh dari puing-puing sejarah yang rumit antara kewajiban dan pengorbanan dan antara propaganda dan kenyataan. Namun di tengah itu semua, mereka menjadi wujud dari semangat sebuah bangsa yang memilih berdiri, meski tertatih, di atas reruntuhan. (LSA)