ROMA | Priangan.com – Letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 M menandai berakhirnya kehidupan di kota Pompeii, sebuah pemukiman makmur di wilayah Campania, Italia selatan. Dalam satu hari, seluruh kota tertutup abu dan material vulkanik, meninggalkan ribuan korban jiwa.
Pompeii saat itu dikenal sebagai kota yang makmur dengan pelabuhan ramai, rumah-rumah indah, serta kebun anggur yang menyuburkan perekonomian warganya. Tidak ada yang menduga bahwa kemakmuran tersebut hanya bertahan sekejap.
Letusan datang tiba-tiba. Menurut catatan Plinius Muda, langit berubah gelap saat awan besar menjulang dari puncak Vesuvius. Hujan abu, batu apung dan gas panas menyelimuti kota. Penduduk yang panik berusaha melarikan diri. Sebagian menuju laut, sebagian lain bersembunyi di dalam rumah. Banyak yang terperangkap, tertimbun material vulkanik dan tidak sempat menyelamatkan diri.
Kondisi geografis Pompeii membuat bencana itu kian mematikan. Abu yang terus turun menyebabkan atap rumah runtuh, sementara arus piroklastik dengan suhu tinggi memenuhi jalan-jalan sempit. Dalam hitungan jam, Pompeii tertutup lapisan tebal material vulkanik yang kemudian mengawetkan bangunan, perabot, dan bahkan tubuh manusia dalam posisi terakhir mereka.
Korban berjatuhan dalam jumlah besar. Ada yang ditemukan sedang melindungi anaknya, ada yang masih memegang harta, ada pula yang tampak berusaha menutup wajah dari abu. Penemuan ini memberi gambaran nyata betapa cepat dan tragisnya peristiwa tersebut berlangsung.
Selama berabad-abad, Pompeii hilang dari peta. Baru pada abad ke-16 sebagian reruntuhan terungkap dan penggalian sistematis dimulai pada 1748. Dari sana, dunia menyaksikan kembali kota Romawi kuno yang mati dalam satu hari. Fresko, grafiti, hingga peralatan dapur masih bisa dilihat, seakan kehidupan warganya hanya terjeda. (wrd)