SEMARANG | Priangan.com – Senin, 15 Oktober 1945, Semarang mencekam. Sebuah pertempuran terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang didukung oleh masyarakat semarang dan para pemuda, melawan pasukan Jepang. Kala itu, Jepang yang menyerah dalam Perang Dunia II tak mau menyerahkan senjata mereka. Hal ini membuat rakyat pribumi meradang. Sehingga pertempuran pun tak terhindarkan.
Aksi heroik ini bermula setelah kejadian tragis pada 14 Oktober 1945, saat dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Malaria PURUSARA, ditembak oleh pasukan Jepang saat memeriksa laporan yang mengindikasikan bahwa Jepang meracuni persediaan air di Jalan Wungkal, Candi Lama. Kematian dr. Kariadi dengan cepat menyebar sebagai berita duka sekaligus memicu kemarahan rakyat Semarang.
Pada 15 Oktober 1945, Mayor Kido Shinichiro memimpin serangan besar-besaran bersama 1.000 pasukan Jepang ke pusat kota Semarang. Perlawanan sengit pun terjadi, rakyat yang terdiri dari para Pemuda dan TKR bertempur habis-habisan di berbagai titik strategis seperti Kintelan, Pandanaran, dan Simpang Lima.
Serangan Jepang dimulai lewat penyerbuan ke kawasan Candi Lama hingga meluas ke markas TKR di Jombang dan Bangkong. Beberapa Pemuda kala itu berhasil ditangkap dan dieksekusi, namun semangat rakyat Semarang tidak surut.
Sebagai balasan, pasukan Indonesia berhasil membakar gudang amunisi milik Jepang. Namun hal ini hanya memicu eskalasi yang jauh lebih besar dari pasukan Jepang. Tak lama setelah peningkatan jumlah pasukan, Jepang kemudian menduduki berbagai kawasan strategis, termasuk Semarang Timur dan Candi Baru. Kendati demikian, rakyat Semarang pantang untuk menyerah, mereka terus melawan walau sampai titik darah penghabisan.
Pada 16 Oktober 1945, pasukan Jepang merebut Penjara Bulu dan melakukan eksekusi massal terhadap para tahanan. Di tengah ketegangan itu, Gubernur Jawa Tengah, K.R.M.T. Wongsonegoro, diundang oleh pasukan Jepang untuk melihat langsung kondisi penjara sebagai bagian dari upaya perundingan damai.
Namun situasi malah semakin memanas, apalagi menjelang kedatangan pasukan Sekutu di Semarang pada 19 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Bethell dengan pasukan Britania-India. Mereka awalnya bertugas untuk melucuti persenjataan Jepang dan mengurus tawanan perang. Sayang, ternyata pasukan itu ditunggangi NICA.
Sampai pada tanggal 20 Oktober 1945, lewat sebuah perundingan akhirnya disepakati genjatan senjata, dengan syarat, Jepang harus membebaskan tawanan mereka dan mengonsinyir senjata di markas mereka. Pasukan TKR dan laskar-laskar Indonesia pun mundur untuk mengatur strategi lanjutan.
Lewat pertempuran ini, ada banyak korban jiwa yang melayang. Tercatat, sekitar 2.000 orang Indonesia dan 500 hingga 850 pasukan Jepang tewas. Sebagai penghormatan atas perjuangan mereka yang luar biasa ini, Presiden Sukarno kemudian meresmikan Tugu Muda di Simpang Lima, Semarang, pada 20 Mei 1953. Hingga kini, tugu ini menjadi simbol pengorbanan dan semangat juang bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. (ersuwa)