TASIKMALAYA | Priangan.com – KH Zainal Mustafa, seorang ulama dan pejuang dari Tasikmalaya, Jawa Barat, dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh dalam perjuangan melawan penjajahan Jepang. Dikenal dengan keteguhan dan keberaniannya, KH Zainal Mustafa memainkan peran penting dalam melawan kebijakan-kebijakan penjajah dan menginspirasi semangat perlawanan di masyarakat.
Dilahirkan pada 1 Januari 1899 di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, KH Zainal Mustafa, yang pada awalnya bernama Umri dan kemudian berganti menjadi Hudaemi, berasal dari keluarga petani sederhana. Ayahnya, Nawafi, dan ibunya, Ratmah, hidup dalam kesederhanaan.
Pendidikan formal KH Zainal Mustafa hanya sampai Sekolah Rakyat (SR), setelah itu ia membantu orang tuanya menggembala bebek di sawah. Namun, semangatnya untuk belajar tidak pernah padam. Ia melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di Jawa Barat, seperti Pesantren Gunungpari, Pesantren Cilenga, dan Pesantren Sukamiskin.
Pada tahun 1922, ia pergi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan agama dan berhaji, dan di sanalah ia memperoleh gelar Kiai Haji dan nama yang kemudian dikenal sebagai Zainal Mustafa.
Kembali ke tanah air pada tahun 1927, KH Zainal Mustafa mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah di kampung halamannya. Meski menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, beliau berhasil mewujudkan impian tersebut dan memperkuat pendidikan agama di kawasan tersebut.
Namun, perannya tidak berhenti di situ. Ketika Jepang menguasai Indonesia, KH Zainal Mustafa menjadi salah satu tokoh utama dalam perlawanan terhadap kebijakan pendudukan Jepang.
Pada tahun 1943, Jepang memperkenalkan kebijakan Seikerei, yang mengharuskan setiap orang membungkukkan badan ke arah matahari terbit sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang.
Bagi KH Zainal Mustafa dan banyak ulama serta santri lainnya, ini merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai agama Islam, yang mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah. Kebijakan ini menjadi titik tolak perlawanan yang dikenal dengan nama Perlawanan Singaparna.
Pada 25 Februari 1944, KH Zainal Mustafa mengadakan khotbah di masjid Pondok Pesantren Sukamanah. Di tengah khotbah, empat opsir Jepang mendatangi beliau dan mendesak agar ia menghadap perwakilan pemerintah Jepang. Penolakan KH Zainal Mustafa memicu kemarahan para santri dan warga sekitar, menyebabkan terjadinya kericuhan.
Konflik ini berujung pada pertempuran sengit dengan pasukan Jepang yang datang dengan kekuatan besar. Dalam serangan yang brutal, 86 orang warga Sukamanah, termasuk para santri, gugur.
Karenanya, KH Zainal Mustafa dan beberapa pengikutnya ditangkap dan diadili di Jakarta. Pada 25 Oktober 1944, beliau dieksekusi mati oleh tentara Jepang dan dimakamkan di Ancol, Jakarta Utara. Makamnya baru dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya pada 25 Agustus 1973.
Pada 6 November 1972, pemerintah Republik Indonesia menetapkan KH Zainal Mustafa sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972. Penghargaan ini mengakui dedikasi dan keberaniannya dalam perjuangan melawan penjajahan, serta kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
KH Zainal Mustafa dikenang sebagai seorang pahlawan yang tidak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga melalui dakwah dan pendidikan, menginspirasi banyak orang untuk tetap berjuang melawan penindasan.
Kisah perjuangannya tetap menjadi bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia, mengajarkan kita tentang keberanian dan pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kebebasan. (mth)