JAKARTA | Priangan.com – Dipa Nusantara Aidit, atau lebih dikenal sebagai D.N. Aidit, adalah salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Ia dikenal sebagai pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Berbagai catatan sejarah tentang dirinya, selalu bernada sumbang. Semua itu tak terlepas dari kiprah politiknya hingga dituduh menjadi dalang di balik peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 30 Juli 1923, Aidit, sapaan akrabnya, punya nama asli sebagai Achmad Aidit. Nama itu digunakan sejak ia kecil hingga berusia remaja. Ia berasal dari keluarga yang taat agama. Ayahnya, Abdullah bin Ismail, adalah seorang tokoh pelopor pendiri organisasi Nurul Islam.
Sejak kecil, Aidit dikenal sebagai anak yang rajin beribadah. Ia diceritakan sudah beberapa kali khatam al-quran. Salat lima waktu pun kerap ia jalankan. Bahkan, Aidit kerap ditunjuk sebagai muazin. Itu karena ia punya suara yang lantang dan jelas. Kehidupan religius yang kental ini, mewarnai masa kecilnya, sebelum akhirnya ia terjerumus ke jalan yang jauh berbeda saat beranjak dewasa.
Awal tahun 1940-an menjadi masa transisi bagi Aidit pindah haluan. Terutama ketika ia mulai mengenal paham Marxisme. Sejak saat itu, Aidit pun mulai terlibat dalam berbagai diskusi politik dan semakin mengarahkannya kepada ideologi komunis. Di masa-masa inilah, Achmad Aidit kemudian mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Karier politiknya terus berkembang pesat seiring dengan keterlibatannya bersama kalangan mahasiswa di Asrama Menteng 31. Sebuah markas yang terkenal diisi oleh para aktivis muda radikal. Bersama tokoh-tokoh seperti Adam Malik dan Sukarni, Aidit turut serta dalam berbagai pergerakan, termasuk penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 dan peristiwa Madiun 1948.
Pasca kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dalam genggamannya. Di bawah kepemimpinan Aidit, partai tersebut berhasil berkembang pesat. PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Pada pemilu 1955, PKI bahkan berhasil mendulang suara yang cukup banyak. Partai ini masuk jajaran empat besar setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Sayangnya, kejayaan itu harus berakhir tragis setelah peristiwa G30S pada 30 September 1965 terjadi. D.N. Aidit, bersama PKI, dituding sebagai dalang di balik gerakan yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira itu. Ia pun jadi buronan negara.
Aidit melarikan diri ke berbagai tempat sebalum akhirnya ditangkap di sebuah rumah di daerah Sambeng, Solo, pada 22 November 1965. Penangkapan itu dilakukan oleh pasukan militer di bawah komando Kolonel Yasir Hadibroto. Setelah ditangkap, ia kemudian dibawa ke markas militer untuk diinterogasi.
Keesokan harinya, ia kemudian dibawa ke depan sebuah sumur tua yang ada di kawasan Boyolali. Aidit pun diberikan kesempatan untuk melakukan pidato terakhirnya. Dalam pidato terakhirnya itu, Aidit diceritakan sangat berapi-api hingga membuat para pasukan yang ada di sana marah. Tak lama setelah itu, ia pun dieksekusi dengan cara ditembak. Jasadnya kemudian dibuang ke dalam sumur tua, sama seperti para jenderal yang dieksekusi dalam peristiwa G30S/PKI. (ersuwa)