KEBUMEN | Priangan.com – Inilah sosok R.M.A.A Kusumo Utoyo. Ia adalah satu dari dari segelintir tokoh yang berhasil menembus kekuasaan kolonial dan membawa perubahan besar bagi kondisi masyarakat di tanah air. Kusumo, sapaan akrabnya, senantiasa memperjuangkan kesejahteraan rakyat pada masa-masa penjajahan.
Lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 13 Januari 1871, Kusumo merupakan anak dari R.M. Sujudi Sutodikusumo, seorang patih Pekalongan. Lingkungan keluarganya yang religius yang ditanamkan sejak ia kecil menjadi bekal dirinya untuk senantiasa menebar kebaikan di kemudian hari.
Sejak kecil, Kusumo Utoyo sudah menunjukkan bakat yang luar biasa. Misalnya ketika ia bersekolah di partikelir, ia juga nyambi untuk memperdalam ilmu pendidikannnya di pesantren. Pada usia tujuh tahun, Kusumo tercatat sudah pernah khatam Al-Qur’an.
Tak berhenti sampai di sana, kecerdasan Kusumo sejak remaja juga ditunjukan setelah ia lulus dari partikelir. Kusumo menjadi orang Jawa pertama yang berhasil masuk dan lulus dari Hogere burger School (HBS), sebuah sekolah elit Belanda yang tidak semua kaum pribumi bisa memasukinya. Tak tanggung, pada saat lulus pada tahun 1891, nama Kusumo bahkan masuk dalam siswa dengan predikat terbaik.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Kusumo Utoyo kemudian bekerja magang sebagai birokrasi Pangreh Praja Kabupaten Ngawi pada 1902. Tak lama setelah itu, ia bergabung dengan Komisi Kekurangmakmuran (Mindere Welvaart Commissie), sebuah badan yang meneliti kondisi ekonomi rakyat pribumi. Penelitiannya menjadi landasan kebijakan Politik Etis yang diadopsi pemerintah kolonial Belanda kala itu.
Kontribusinya kepada masyarakat dimulai ketika ia diangkat sebagai priyayi pertama yang menjadi seorang bupati di Jepara. Pengangkatan ini bukan semata-mata karena Kusumo punya hubungan erat dengan keraton, melainkan karena kapasitasnya yang memang matang untuk didapuk sebagai seorang pemimpin.
Selama menjadi seorang bupati, Kusumo tak hanya sebatas menjalankan tugas-tugas administratif, ia juga banyak menunjukkan keberpihakannya kepada kalangan pribumi. Tak jarang, Kusumo memperjuangkan hak-hak rakyat di tengah kekuasaan para penjajah pada masa itu.
Pada 1930, Kusumo Utoyo kemudian masuk sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Kala itu, ia memanfaatkan betul wadah ini sebagai sarana untuk menyuarakan kepentingan kaum pribumi. Sosoknya dikenal lantang dalam urusan itu.
Misalnya dalam salah satu sidang Volksraad, Kusumo pernah mengajukan “Mosi Keresahan” yang mengkritik tindakan represif pemerintah kolonial terhadap pemimpin pergerakan nasional. Pidatonya yang berani menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menyoroti praktik penggeledahan yang sewenang-wenang.
Kusumo Utoyo juga bekerja sama dengan M.H. Thamrin untuk mendukung perjuangan buruh di perkebunan Sumatra Timur. Penyelidikan mereka berhasil mengungkap kebijakan kejam punale sanctie, yang akhirnya dihapuskan setelah tekanan publik meningkat.
Kusumo Utoyo menikah dengan R.A. Ataswarin dan memiliki beberapa anak, salah satunya R.A.A. Sumitro Kusumo Utoyo, yang kemudian menjadi Bupati Jepara. Pada 1942, Kusumo Utoyo sendiri diangkat menjadi Bupati Jepara. Namun, karena merasa dilecehkan oleh pemerintah kolonial, ia memilih pensiun dini untuk menjaga harga diri sebagai pemimpin.
Di masa pensiunnya, Kusumo Utoyo aktif dalam Badan Sensor Film hingga akhir hayatnya pada 26 Mei 1953. Sampai saat ini, meski tak banyak orang yang mengetahui perjuangan-perjuangannya, Kusumo masih tetap dikenang oleh sebagian kalangan. Namanya abadi. Berbagai kontribusinya bahkan tetap diingat dan menjadi bagian dalam sejarah panjang berdirinya republik ini. (ersuwa)