Menelusuri Akar Waisak Modern di Indonesia dan Peran Teosofi

MAGELANG | Priangan.com – Setiap bangsa memiliki cara tersendiri dalam menghormati perjalanan spiritual para tokoh agung yang mengubah dunia. Bagi umat Buddha, Hari Waisak bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi momen sakral untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam hidup Siddhattha Gotama, yaitu kelahiran, pencapaian Pencerahan Sempurna, dan Parinibbana, saat beliau meninggalkan siklus kelahiran kembali.

Di Indonesia, Candi Borobudur menjadi pusat peringatan Waisak yang paling ikonik, namun sedikit yang tahu bahwa perayaan Waisak modern di situs ini bermula dari kelompok spiritual yang mungkin jarang disebut, yaitu para penganut Teosofi.

Organisasi Teosofi atau ‘Theosofische Vereniging’ pertama kali berdiri di Amerika Serikat pada tahun 1875 dan kemudian bermarkas di Adyar, India sejak 1882. Ajarannya menggabungkan filsafat Barat kuno dengan spiritualitas Timur, termasuk ajaran Buddha, Hindu, dan Islam.

Di Hindia Belanda, organisasi ini mulai dikenal sejak 1881 di Pekalongan dan secara resmi membentuk cabang pada 1883 di bawah pimpinan Baron F. Tengnagel.

Terinspirasi oleh ajaran Buddha, para anggota Teosofi ikut memperingati Hari Vesak atau Waisak sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual Buddha.

Tahun 1927 menandai awal perayaan Waisak dalam bentuk modern di Candi Borobudur. Meskipun tanggal pastinya tak tercatat, perhitungan astronomi menunjukkan bulan Vesākha jatuh pada 17 Mei tahun itu. Tokoh penting di balik perayaan ini adalah L. Mangelaar Meertens, seorang Buddhis Eropa dari Malang yang aktif menyelenggarakan perayaan Waisak di Borobudur hingga tahun 1939.

Tradisi ini terus berkembang. Pada 23 Mei 1929, Waisak untuk pertama kalinya diperingati di Candi Mendut. Setahun kemudian, tepatnya 12 Mei 1930, perayaan kembali diadakan di Borobudur. Beberapa sumber bahkan menganggap tahun 1930 sebagai awal resmi perayaan Waisak di candi tersebut. Sejak saat itu, Candi Mendut dan Borobudur menjadi dua lokasi utama yang tak terpisahkan dalam ritual Waisak.

Lihat Juga :  Sejarah Rokok, Dulu Dianggap Punya Kekuatan Mistis

Tahun 1932 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Waisak di Borobudur. Pada 20 Mei, perayaan terdokumentasi secara jelas dalam majalah Moestika Dharma. Ong Soe Aan, pemimpin Loji Giriloyo, melaporkan bahwa masyarakat dari berbagai latar belakang etnis turut hadir. Setelah upacara di Candi Mendut, peserta berjalan kaki menuju Borobudur, menaiki stupa hingga ke puncak. Di sana, mereka berdiskusi tentang buku ‘The Masters and the Path karya Charles Leadbeater’, yang mengangkat ajaran spiritual Teosofi.

Ritual puncak ditandai dengan pradakshina, yakni berjalan mengelilingi stupa utama searah jarum jam sambil bergandengan tangan sebagai lambang persaudaraan universal.

Lihat Juga :  Saat Belanda Belajar Sunda: Dari Perkebunan Hingga Penerbitan Kamus

Uniknya, meskipun perayaan ini menjadi catatan paling utuh dan terdokumentasi, belum ditemukan tradisi penetapan waktu “detik-detik Waisak” seperti yang dikenal sekarang. Namun, benih tradisi ini mulai tampak pada perayaan 1932, yang menunjukkan adanya perhatian terhadap waktu pelaksanaan bulan purnama.

Tradisi “detik-detik Waisak”atau penentuan waktu puncak Waisak hingga jam, menit, dan detik berdasarkan perhitungan astronomi yang baru menjadi bagian integral perayaan setelah Waisak kembali dirayakan secara publik pada 1953, pasca Perang Dunia II dan masa revolusi Indonesia.

Pada 14 Mei 1938, perayaan Waisak kembali digelar, kali ini diliput oleh majalah Sam Kauw Gwat Po. Upacara dipimpin oleh Meertens dan diikuti sekitar 150 orang, mayoritas dari etnis Jawa serta sebagian kecil dari kalangan Eropa dan Tionghoa. Peserta datang dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Magelang, Temanggung, dan Grabag.

Upacara dimulai pukul 18.00 WIB dengan altar yang dihias bunga melati, mawar, lilin, dan dupa. Pelafalan kitab suci, ceramah dalam bahasa Belanda oleh Meertens dan bahasa Jawa oleh Mangoen Soekarso, guru dari Taman Siswa. Puncaknya kembali ditandai dengan pradakshina pada pukul 22.30 WIB.

Lihat Juga :  Harum Nama Kapitan Pattimura, Sang Pejuang dan Simbol Perlawanan Rakyat Maluku

Namun, memasuki tahun 1939, perayaan Waisak di Borobudur terhenti. Invasi Jerman ke Belanda, Perang Dunia II, serta perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi penyebab utamanya.

Tradisi ini baru bangkit kembali pada 1953 dan terus berkembang hingga hari ini, termasuk penguatan simbolisme waktu dalam bentuk “detik-detik Waisak”.

Jejak sejarah tersebut menunjukkan bahwa perayaan Waisak modern di Borobudur tumbuh dari semangat spiritual komunitas Teosofi. Mereka memperkenalkan struktur upacara yang rapi, warisan nilai-nilai penting seperti pelafalan kitab suci, ceramah lintas bahasa, dan pradakshina, serta meletakkan dasar bagi tradisi yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Waisak Indonesia, termasuk tradisi “detik-detik Waisak” yang memperkaya makna spiritual perayaan ini dari generasi ke generasi. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos