AFRIKA | Priangan.com – Pada awal abad ke-16, jalur baru perdagangan manusia terbentang melintasi Samudra Atlantik. Ribuan kapal berangkat dari pelabuhan Eropa menuju pantai barat Afrika untuk mendapatkan tenaga kerja yang kemudian dikirim ke benua Amerika. Dari wilayah pesisir Guinea hingga Angola, orang-orang ditangkap atau dijual, lalu dibawa dengan paksa untuk memnuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan dan tambang.
Proses pengangkutan itu dikenal sebagai Middle Passage atau biasa disebut perjalanan laut yang penuh penderitaan. Di ruang geladak kapal yang sempit, orang-orang Afrika dijejalkan tanpa cukup makanan, air, maupun udara. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup bertahan hidup dalam perjalanan selama berminggu-minggu itu. Penyakit, kelelahan, serta perlakuan keras membuat angka kematian sangat tinggi, bahkan mencapai jutaan jiwa sepanjang masa perdagangan ini berlangsung.
Mereka yang berhasil sampai ke daratan Amerika juga harus menghadapi nasib yang tidak jauh lebih baik. Para budak dipaksa bekerja di perkebunan gula, tembakau, dan kapas, menjadi tenaga murah bagi ekonomi kolonial Eropa. Dari Brasil, Karibia, hingga Amerika Utara, tenaga kerja paksa ini menjadi fondasi utama produksi komoditas yang laku keras di pasar dunia.
Perdagangan budak Atlantik berlangsung selama lebih dari tiga abad. Diperkirakan ada sekitar 12 juta orang Afrika yang dipindahkan secara paksa ke benua lain. Selain korban yang meninggal di kapal, jutaan orang lainnya tercatat wafat sebelum sempat berlayar, akibat peperangan, pawai panjang menuju pantai, dan kondisi buruk di tempat penampungan sementara.
Dorongan utama di balik praktik ini adalah keuntungan ekonomi. Negara-negara Eropa melihat tenaga kerja paksa sebagai solusi bagi kebutuhan produksi dalam skala besar di koloni-koloni mereka. Perdagangan manusia kemudian dilegalkan dan bahkan dilindungi oleh hukum kolonial, sehingga menjadikannya bagian dari sistem global yang terstruktur.
Meskipun akhirnya dihapus pada abad ke-19, jejak perdagangan budak Atlantik meninggalkan luka panjang. Ia bukan hanya soal angka korban jiwa, melainkan juga kisah tentang jutaan keluarga yang tercerabut dari tanah kelahirannya. (wrd)