MALUKU | Priangan.com – Jika Sutan Sjahir pernah berkata jangan mati sebelum pergi ke Banda Neira, maka Pramoedya Ananta Toer mungkin akan berkata jangan mati sebelum pergi ke Pulau Buru. Ya, sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Maluku ini tak kalah indah dengan Banda Neira. Selain itu, tempat ini juga punya cerita sejarah yang begitu berharga.
Dulu, tempat ini menjadi saksi bisu di mana para tahanan politik dibuang. Sedikitnya pernah ada 12 ribu tahanan politik yang di buang di Pulau Buru. Selain karena memiliki tanah yang subur sehingga bisa menjadi sumber ekonomi para tahanan politik yang tidak membebani negara, Pulau Buru juga lokasinya sangat strategis, yakni jauh dari pusat aktivitas politik di Jakarta.
Pulau Buru pertama kali dijadikan sebagai kamp pembuangan tepat pada tanggal 17 Agustus 1969 dan terakhir digubakan pada tahun 1979. Salah satu tokoh yang pernah dibuang di tempat ini adalah Pramoedya Ananta Toer. Ya, seorang sastrawan yang berkontribusi besar atas perjalanan sastra di negeri ini.
Kala itu, Pramoedya diasingkan lantaran menjadi Redaktur di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terindikasi terafiliasi dengan PKI. Meski berada dalam masa pengasingan, Pramoedya tetap produktif dalam berkarya. Ada beberapa karya yang ia buat di Pulau Buru, seperti Tetralogi Buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), hingga Rumah Kaca (1988). Karya-karyanya itu bahkan mendapatkan pengakuan internasional dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa.
Produktivitasnya dalam membuat karya walau berada dalam masa pengasingan konon tak terlepas dari suasana Pulau Buru yang mendukung moodnya untuk menulis. Pulau Buru yang menyajikan panorama alam berupa laut yang amat indah, menjadikan suasana mood baik dan berimbas pada produktivitas Pramoedya dalam membuat berbagai karya tulis.
Di sisi lain, di pulau ini juga ada peninggalan bersejarah berupa Benteng VOC. Letaknya persis di Negeri Kayeli, Kecamatan Waepo. Konon, benteng tersebut dibangun oleh Portugis dan direbut Belanda pada tahun 1785. Benteng ini juga dulu jadi simbol sekaligus saksi bisu masa kejayaan Kayeli saat Belanda berkuasa. (ersuwa)