JAKARTA | Priangan.com – Pada masa ketika hubungan dagang antarbangsa semakin intensif di kawasan Asia, opium mulai hadir di kepulauan Nusantara. Zat olahan dari tanaman Papaver somniferum itu diperkenalkan oleh pedagang dari India dan Tiongkok sejak abad ke-17. Kehadirannya tidak saja menarik perhatian para pengguna awal, tetapi segera dianggap sebagai komoditas bernilai tinggi bagi kekuatan kolonial yang saat itu menguasai jalur perdagangan. VOC melihat peluang besar dari barang yang permintaannya terus bertambah dan memasukkan opium sebagai bagian dari kegiatan niaga mereka, terutama di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Seiring berkembangnya pasar, peredaran opium tidak lagi terbatas pada kelompok pedagang atau kalangan atas. Ia merambah masyarakat umum dan menjadi bagian dari kebijakan ekonomi kolonial. Pada abad ke-19, pemerintahan Belanda menjadikannya sebagai sumber pendapatan resmi. Sistem pacht diberlakukan untuk memberikan hak monopoli penjualan kepada pengusaha di berbagai wilayah. Kedai-kedai opium berdiri di banyak kota dan berada dalam pengawasan pejabat kolonial. Para pekerja, petani, dan nelayan menjadi kelompok yang paling merasakan dampaknya karena penggunaan opium yang berkepanjangan menurunkan kondisi fisik dan ekonomi rumah tangga.
Pada masa revolusi kemerdekaan, komoditas ini rupanya masih memainkan peran tidak terduga. Pemerintah Republik Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan memanfaatkan peredaran opium secara terbatas melalui jaringan rahasia. Dana yang dihasilkan digunakan untuk mendukung upaya diplomasi, pembelian senjata, serta logistik pasukan. Langkah ini dilakukan dalam situasi darurat ketika blokade ekonomi Belanda membuat pemerintah kesulitan memperoleh sumber pembiayaan. Perdagangan opium pada masa itu berjalan dengan prinsip kerahasiaan yang ketat, terutama di beberapa daerah di Sumatra dan Jawa.
Beberapa tahun setelah kedaulatan Indonesia diakui, pemerintah membentuk Perusahaan Negara Candu untuk mengatur pasokan bagi pecandu yang tersisa dari masa kolonial. Namun kebijakan ini tidak bertahan lama. Meningkatnya pemahaman internasional mengenai bahaya narkotika dan dorongan untuk menekan peredaran gelap membuat Indonesia mengambil langkah tegas. Pada 1961, pemerintah meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika yang mengatur pelarangan penuh terhadap produksi dan distribusi opium. Sejak saat itu, opium dan turunannya ditempatkan dalam kategori narkotika golongan I dengan sanksi berat bagi pelanggarnya.
Walau peredarannya telah dihentikan, jejak opium masih tampak dalam ingatan kolektif masyarakat. Foto-foto arsip yang memperlihatkan pengguna opium pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menggambarkan bagaimana kebijakan ekonomi yang berorientasi keuntungan memengaruhi kehidupan rakyat. Bekas keterikatan masyarakat terhadap zat ini turut membentuk jaringan peredaran gelap pada masa berikutnya dan meninggalkan dampak sosial yang tidak singkat. (wrd)
















