NEW YORK | Priangan.com – Di tengah dunia penyiaran yang dulu nyaris tak memberi ruang bagi suara perempuan, satu nama muncul dan mengubah arah sejarah jurnalisme Amerika, ia Martha Rountree. Ia tidak hanya berdiri di depan kamera sebagai wajah sebuah program, tetapi juga merancang ulang cara publik memahami berita dan politik. Dengan keberanian yang langka untuk masanya, Rountree menciptakan Meet the Press, acara wawancara politik tanpa naskah yang menempatkan pejabat publik di kursi panas dan mengajukan pertanyaan tanpa kompromi. Dari sinilah tradisi jurnalisme kritis di televisi Amerika lahir, dibangun oleh seorang perempuan yang suaranya menembus batas-batas sosial dan industri.
Martha Rountree meninggal dunia pada tahun 1999 di Washington dalam usia 87 tahun akibat komplikasi penyakit Alzheimer. Namun warisan yang ia tinggalkan tidak pernah benar-benar padam. Meet the Press, yang ia ciptakan bersama Lawrence E. Spivak pada tahun 1945, masih mengudara hingga hari ini, menjadikannya acara televisi terlama di dunia dan simbol keteguhan prinsip jurnalistik yang tak lekang oleh waktu.
Perjalanan hidup Rountree bermula jauh sebelum layar kaca menjadi pusat perhatian masyarakat. Menurut Library of Congress Blogs, ia lahir pada tahun 1911 di Gainesville, Florida, dan tumbuh besar di Columbia, Carolina Selatan. Sejak kecil, ketertarikannya pada dunia tulis-menulis sudah tampak jelas. Ia menulis cerita pendek di usia sembilan tahun dan bekerja di surat kabar Columbia Record ketika masih kuliah di University of South Carolina. Meski tak menamatkan pendidikannya, semangatnya untuk menjadi jurnalis tak pernah surut. Ia bergabung dengan Tampa Tribune sebagai reporter muda dan mulai menapaki jalan panjang di dunia media.
Pada akhir 1930-an, Rountree pindah ke New York, pusat segala dinamika media di Amerika. Ia bekerja menulis naskah iklan dan artikel lepas, sembari mendirikan perusahaan produksi radio bersama saudara perempuannya. Langkah awalnya di dunia penyiaran dimulai ketika ia menciptakan program radio Leave It to the Girls pada tahun 1945. Acara ini menampilkan diskusi perempuan tentang isu sosial dan politik. Formatnya yang ringan namun tajam menjadikannya populer, bahkan disebut sebagai cikal bakal program seperti The View di masa kini.
Tahun yang sama, Rountree meluncurkan ide yang akan mengubah sejarah jurnalisme Amerika: Meet the Press. Acara ini disiarkan pertama kali di jaringan radio Mutual Broadcasting System pada 5 Oktober 1945. Dalam wawancara yang dikutip oleh Los Angeles Times, Rountree menjelaskan gagasan utamanya, “Publik berhak mendengar pejabat terpilih mereka berbicara dan mengambil sikap dalam menjawab pertanyaan langsung tanpa persiapan atau pidato. Tidak ada yang lebih menyegarkan daripada keyakinan yang tulus.” Prinsip ini menjadi fondasi format acara tersebut: satu tamu penting diwawancarai langsung oleh panel wartawan tanpa naskah dan tanpa latihan.
Format sederhana namun berani ini segera menarik perhatian publik. Dalam salah satu siaran awalnya, Senator Theodore Bilbo secara mengejutkan mengaku pernah menjadi anggota Ku Klux Klan, sementara di episode lain, seorang ketua serikat buruh mengumumkan pemogokan besar bahkan sebelum memberi tahu anggotanya sendiri. Dalam waktu singkat, Meet the Press bukan hanya menjadi acara populer, tetapi juga sumber berita penting yang membentuk opini publik Amerika.
Kesuksesan di radio mendorong Rountree membawa Meet the Press ke televisi. Pada 6 November 1947, acara ini tayang perdana di NBC dengan Kepala Kantor Pos Amerika Serikat, James Farley, sebagai tamu pertama.
Pada masa itu televisi masih menjadi barang langka, hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat di kota besar seperti New York. Namun, gaya Rountree yang lugas, tegas, dan penuh wibawa membuat acara tersebut langsung mencuri perhatian. Ia dikenal karena keberaniannya menyela pembicara yang berusaha menghindar dari pertanyaan, ketegasan yang jarang dimiliki perempuan di layar kaca saat itu. Seorang jurnalis bahkan menjulukinya sebagai “mesin diesel di balik sapu tangan renda,” menggambarkan perpaduan antara kekuatan dan keanggunannya.
Rountree tetap memimpin Meet the Press hingga tahun 1953. Namun hubungan profesionalnya dengan Lawrence Spivak, rekan sekaligus produser acara, mulai retak. Perbedaan pandangan membuat keduanya berpisah. Rountree kemudian menjual sahamnya setelah lempar koin menentukan nasib kepemilikan acara, keputusan yang memberinya sekitar 125.000 dolar pada masa itu. Spivak kemudian menjual Meet the Press kepada NBC dengan nilai mencapai satu juta dolar, memperkuat posisinya sebagai acara unggulan jaringan tersebut.
Meski meninggalkan program yang ia ciptakan, Rountree tidak berhenti berinovasi. Ia kembali ke layar kaca dengan berbagai acara politik baru seperti Press Conference, Washington Exclusive, dan Capitol Close-Up, yang semuanya menyoroti urusan publik dengan pendekatan yang tajam namun berimbang.
Pada tahun 1965, ia mendirikan Leadership Foundation, organisasi penelitian politik nirlaba yang berfokus pada pendidikan kewarganegaraan dan kepemimpinan. Ia memimpin organisasi ini hingga tahun 1988, sebelum akhirnya pensiun dari dunia publik.
Dalam kehidupan pribadinya, Rountree pernah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya dengan Albert N. Williams Jr. berakhir dengan perceraian, lalu ia menikah lagi dengan Oliver Presbrey pada tahun 1952 hingga sang suami meninggal dunia pada 1988. Ia meninggalkan dua putri, saudara laki-laki dan perempuan, serta tiga cucu yang terus mengenang sosoknya sebagai perempuan tangguh yang tidak pernah berhenti bekerja demi kebenaran.
Warisan Martha Rountree kini tersimpan rapi di Perpustakaan Kongres Amerika Serikat. Berkat donasi NBC pada tahun 1986, lembaga itu mengarsipkan ribuan jam rekaman Meet the Press, termasuk lebih dari 500 episode dari masa kepemimpinannya antara tahun 1945 hingga 1953. Cuplikan-cuplikan dari era Rountree bahkan masih sering muncul di versi modern Meet the Press, mengingatkan penonton akan akar sejarah acara tersebut.
Pada tahun 1997, NBC merayakan ulang tahun ke-50 Meet the Press dengan gala besar yang menghadirkan retrospektif perjalanan program tersebut, Martha Rountree menjadi salah satu tamu kehormatan. Ia dikenang bukan hanya sebagai pendiri, tetapi juga sebagai satu-satunya perempuan yang pernah duduk di kursi moderator acara legendaris itu.
Lebih dari sekadar pencapaian profesional, kisah Martha Rountree adalah cerminan keteguhan dan idealisme yang melampaui zaman. Ia membuktikan bahwa jurnalisme sejati tidak hanya soal melaporkan berita, tetapi juga soal keberanian untuk bertanya dan menuntut kejujuran dari mereka yang berkuasa. Setiap kali Meet the Press mengudara, gema semangat Martha Rountree seolah masih hidup, mengajarkan bahwa suara yang berani dan tulus akan selalu menemukan jalannya dalam sejarah media. (LSA)

















