DAVAO | Priangan.com – Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditahan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang di ajukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kebijakan ‘perang berdarah melawan narkoba’ selama masa pemerintahannya pada Selasa, 11 Maret 2025.
Hal ini pun memicu ribuan pendukung mantan Presiden Filipina itu untuk sepakat berkumpul untuk memprotes penangkapannya di Taman Rizal, Kota Davao, Filipina, menurut lapporan dari Rappler.com
Termasuk para pejabat dan pegawai pemerintah setempat bahkan menggelar upacara menyalakan lilin serta doa bersama di dekat balai kota sebagai bentuk solidaritas terhadap mantan presiden mereka.
Kepala Penasihat Presiden, Juan Ponce Enrile, menegaskan bahwa penangkapan Duterte bukanlah hasil dari hukum domestik Filipina, melainkan keputusan yang diambil oleh ICC. Ia menyarankan tim pengacara Duterte untuk segera mendapatkan salinan dakwaan dari ICC agar mengetahui dasar hukum penangkapannya.
Duterte ditangkap pada Selasa pagi setibanya di Terminal 3 Bandara Internasional Ninoy Aquino setelah kembali dari Hong Kong.
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh ICC atas dugaan keterlibatannya dalam ribuan pembunuhan di luar hukum di Davao dan selama masa jabatannya sebagai presiden. Penangkapan ini langsung memicu reaksi keras dari para pendukungnya di Davao.
Anggota Dewan Davao, Jesus Joseph Zozobrado III, mengajak masyarakat untuk mendoakan Duterte, mengingat usianya yang hampir 80 tahun.
Wakil Wali Kota Davao, Melchor Quitain Jr., juga meminta warga untuk tetap tenang dan percaya pada sistem peradilan yang berlaku.
Tidak semua pihak di Mindanao menentang penangkapan ini.
Persatuan Pengacara Rakyat di Mindanao (UPLM) menyambut baik langkah ICC, menyebutnya sebagai kemajuan dalam menegakkan keadilan bagi korban dan keluarga mereka.
Ia juga mendesak ICC untuk memperluas penyelidikannya dan meminta pertanggungjawaban para pejabat tinggi lainnya yang diduga terlibat dalam operasi brutal tersebut, termasuk komandan polisi dan pembuat kebijakan.
Dalam pidato yang disampaikan Duterte di Hong Kong pada Minggu, 9 Maret 2025 lalu, Ia membela kebijakan perangnya terhadap narkoba, menyatakan bahwa ia melakukan segalanya demi rakyat Filipina.
Menurut catatan polisi yang dikutip oleh Al Jazeera, lebih dari 7.000 orang terbunuh dalam operasi antinarkoba selama enam tahun masa jabatannya.
Namun, kelompok hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch (HRW), menyebut angka tersebut jauh lebih tinggi, mencapai lebih dari 30.000 korban, termasuk anak-anak dan individu yang tidak terlibat dalam perdagangan narkoba.
Bryony Lau, wakil direktur HRW untuk Asia, menyatakan bahwa penangkapan Duterte adalah langkah penting menuju akuntabilitas di Filipina.
Ia menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum dan mendesak pemerintah Marcos untuk menyerahkan Duterte ke ICC tanpa intervensi politik.
Penangkapan Duterte juga dipandang sebagai kemenangan bagi keluarga korban dan pegiat hak asasi manusia
Jaksa ICC telah menyelidiki berbagai kasus dugaan kejahatan yang terjadi sejak Duterte masih menjabat sebagai wali kota Davao hingga masa kepresidenannya. Banyak korban tewas dalam operasi antinarkoba, termasuk pejabat pemerintah, pengacara, hakim, serta anak-anak yang tidak terkait dengan perdagangan narkoba.
ICC sebenarnya telah mulai melancarkan penyelidikannya pada 2018. Namun, dalam proses penyelidikannya saat itu, Duterte dengan keras menolak kerja sama dan bahkan mengancam akan menangkap jaksa ICC yang bertugas, Fatou Bensouda, jika dia berkunjung ke Filipina.
Setelah Bensouda pensiun pada 2021, penyelidikan dilanjutkan oleh jaksa penggantinya, Karim Khan.
Kasus Duterte kini menjadi salah satu perhatian utama dalam upaya global untuk menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan. (Lsa)