JAKARTA | Priangan.com – Selasa, 15 Januari 1974, sebuah aksi demo yang digelar oleh para mahasiswa di Jakarta tiba-tiba ricuh. Tercatat, dalam kericuhan itu, sedikitnya ada sebelas orang tewas. Seratus tiga puluh tujuh orang luka-luka. Sementara tujuh ratus lima puluh lainnya ditangkap.
Hingga kini, peristiwa itu dikenal sebaga salah satu momen kelam dalam sejarah Indonesia di bawah kepemimpinan Orde Baru. Malapetaka 15 Januari (Malari), begitu orang-orang menyebutnya.
Kejadian ini bermula dari unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah terkait investasi asing, khususnya dari Jepang. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, ke Indonesia menjadi pemicu utama aksi protes tersebut. Mahasiswa menilai kebijakan pemerintah saat itu terlalu menguntungkan pihak asing dan mengabaikan kepentingan rakyat kecil.
Sehari sebelum kerusuhan pecah, mahasiswa telah berkumpul di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menyambut kedatangan Tanaka Kakuei dengan aksi demonstrasi. Namun, upaya mereka dihalangi oleh aparat keamanan yang berjaga ketat.
Keesokan harinya, aksi dilanjutkan dengan turun ke jalan. Mahasiswa menuntut tiga hal utama: pengendalian investasi asing, pemberantasan korupsi, dan penurunan harga kebutuhan pokok. Selain itu, mereka juga mendesak pembubaran Asisten Pribadi Presiden (Aspri) yang dianggap sebagai sumber nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, situasi yang awalnya terkendali berubah drastis menjelang sore hari. Aksi damai berubah menjadi kerusuhan massal yang meluas ke berbagai titik di Jakarta. Mobil-mobil buatan Jepang menjadi sasaran amuk massa, dihancurkan dan dibakar.
Kerusuhan tidak hanya terjadi di sekitar Jalan Sudirman, tetapi meluas ke kawasan Senen, di mana pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar.
Aparat keamanan menuding mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan. Namun, mahasiswa membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa aksi mereka berlangsung damai. Mereka mencurigai adanya provokator yang sengaja memicu kerusuhan untuk memecah konsentrasi gerakan mahasiswa. Sampai saat ini, identitas provokator tersebut masih menjadi misteri.
Pasca-kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil sejumlah langkah untuk meredam gejolak. Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Jenderal Sumitro, dicopot dari jabatannya karena dianggap gagal mengendalikan situasi. Beberapa pejabat lain, termasuk Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono, juga mengalami nasib serupa.
Sementara itu, Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi tokoh penggerak demonstrasi, dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah.
Meski kerusuhan menimbulkan korban dan kerugian material yang besar, tuntutan mahasiswa untuk membubarkan Aspri akhirnya dipenuhi. Lembaga tersebut resmi dibubarkan, meski beberapa anggotanya, seperti Ali Murtopo, hanya dipindahkan ke posisi lain di lingkungan pemerintahan. (Ersuwa)