LONDON | Priangan.com – Inggris pada awal abad ke-13 berada dalam tekanan politik yang serius. Raja John pada saat itu harus menghadapi perlawanan dari para bangsawan akibat pajak yang tinggi, kekalahan militer, dan kebijakan pemerintahan yang dinilai sewenang-wenang. Ketegangan itu perlahan mengarah pada sebuah kesepakatan yang kelak mengubah arah sejarah hukum modern.
Pada Juni 1215, para baron Inggris memaksa Raja John untuk berunding di Runnymede, sebuah padang rumput di tepi Sungai Thames. Perundingan tersebut berlangsung dalam suasana tegang, mencerminkan krisis kepercayaan antara penguasa dan kaum bangsawan.
Hasil dari pertemuan itu adalah sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai Magna Carta. Piagam ini memuat ketentuan yang membatasi kekuasaan raja dan menetapkan hak-hak dasar bagi golongan tertentu, khususnya kaum bangsawan dan gereja.
Salah satu poin penting dalam Magna Carta adalah prinsip bahwa raja tidak berada di atas hukum. Untuk pertama kalinya, kekuasaan monarki secara tertulis dibatasi oleh aturan yang harus dipatuhi.
Dokumen tersebut juga mengatur soal pajak, hak atas peradilan yang adil, serta perlindungan dari penahanan sewenang-wenang. Meskipun awalnya tidak dimaksudkan untuk rakyat secara luas, isi Magna Carta membuka jalan bagi konsep hukum yang lebih inklusif.
Penerapan piagam ini tidak berjalan mulus. Raja John berusaha membatalkannya, memicu konflik lanjutan antara kerajaan dan para bangsawan. Namun, setelah wafatnya sang raja, Magna Carta kembali ditegaskan dan direvisi pada masa pemerintahan berikutnya.
Seiring waktu, Magna Carta memperoleh makna yang melampaui konteks awalnya. Dokumen ini kemudian dijadikan rujukan dalam perkembangan hukum Inggris dan memengaruhi sistem hukum di berbagai negara. (wrd)

















