JAKARTA | Priangan.com – Di tengah lanskap berbukit dan hutan pinus yang lebat di Black Hills, South Dakota, berdiri Tugu Peringatan Gunung Rushmore. Monumen ini bukan hanya sekadar simbol patriotisme Amerika Serikat, tetapi juga menjadi pusat kontroversi yang terus bergulir sejak selesai dibangun pada 31 Oktober 1941.
Terletak di atas tanah suci milik penduduk asli Amerika, terutama suku Lakota, keberadaannya menimbulkan perdebatan panjang mengenai sejarah, hak-hak adat, dan arti sebenarnya dari patriotisme.
Sebelum dikenal sebagai Gunung Rushmore, formasi granit ini disebut Tunkasila Sakpe Paha atau Gunung Enam Kakek oleh suku Lakota. Tempat ini memiliki makna spiritual yang mendalam, digunakan untuk berdoa, melakukan ritual, serta mengumpulkan sumber daya alam seperti tanaman obat dan makanan.
Bagi masyarakat Lakota, Black Hills dianggap sebagai pusat alam semesta, sebuah wilayah sakral yang menghubungkan manusia dengan leluhur mereka.
Namun, pada akhir 1800-an, penemuan emas di wilayah tersebut memicu gelombang imigrasi pemukim Eropa-Amerika yang mengabaikan Perjanjian Fort Laramie tahun 1868. Perjanjian ini sebenarnya memberikan hak eksklusif bagi Lakota atas wilayah tersebut.
Namun, pada tahun 1877, pemerintah Amerika Serikat secara sepihak mencabut hak tersebut dan mengambil alih tanah itu. Tindakan ini meninggalkan luka mendalam bagi suku Lakota yang hingga kini terus memperjuangkan pengembalian tanah mereka.
Sejarah pembangunan Gunung Rushmore dimulai pada tahun 1924 oleh Doane Robinson, seorang sejarawan yang ingin meningkatkan pariwisata South Dakota. Ia menghubungi Gutzon Borglum, seorang pematung terkenal, untuk mewujudkan visinya.
Borglum memiliki visi untuk menampilkan empat presiden AS, yaitu George Washington, Thomas Jefferson, Theodore Roosevelt, dan Abraham Lincoln, melihat proyek ini sebagai simbol keistimewaan Amerika.
Pembangunan Gunung Rushmore berlangsung selama 16 tahun dan diwarnai berbagai konflik, baik terkait pendanaan maupun pengendalian proyek. Borglum bahkan berencana membuat Hall of Records, sebuah ruangan rahasia di balik wajah-wajah presiden, namun hanya terowongan sepanjang 70 kaki yang sempat dibuat sebelum dana habis.
Meskipun memiliki status sebagai simbol patriotik, Gunung Rushmore juga menjadi pusat protes berkaitan dengan hak-hak penduduk asli Amerika.
Pada tahun 1970, aktivis dari United Native Americans menduduki monumen ini untuk menuntut pengembalian Black Hills kepada suku Lakota. Sengketa ini mencapai puncaknya pada tahun 1980 ketika Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa tanah tersebut diambil secara tidak sah oleh pemerintah.
Hingga kini, perdebatan tentang Gunung Rushmore masih berlangsung. Beberapa pihak berusaha memperluas monumen dengan menambahkan wajah baru sebagai simbol patriotisme, sementara yang lain menuntut agar tugu peringatan ini dirobohkan karena dianggap mengabaikan sejarah kelam perampasan tanah adat.
Bagi banyak penduduk asli, yang terpenting adalah adanya pengakuan atas sejarah mereka yang sebenarnya dan bukan sekadar narasi patriotisme yang menutupi masa lalu Amerika. (Lsa)