GARUT | Priangan.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan setelah dua kali kasus keracunan massal terjadi di Kabupaten Garut dalam kurun waktu hanya dua pekan. Ribuan warga menjadi korban, memicu keresahan publik dan pertanyaan serius soal keamanan pangan dalam program nasional ini.
Kasus pertama meledak pada 18 September 2025 di Kecamatan Kadungora, dengan lebih dari 500 orang dilarikan ke layanan kesehatan. Dua pekan berselang, pada 30 September 2025, insiden serupa kembali terjadi di kecamatan yang sama, menimpa 147 orang.
Kepala Dinas Kesehatan Garut, dr. Leli, mengungkapkan hingga kini hasil uji laboratorium penyebab pasti keracunan belum tuntas.
“Baru keluar hasil kimianya, dan aman. Tapi mikrobiologinya belum. Jadi kita belum bisa memastikan penyebabnya,” jelasnya.
Meski demikian, ia menduga kasus pertama kemungkinan besar dipicu oleh susu yang dikonsumsi warga. Proses investigasi masih berlanjut di Labkesda Provinsi Jawa Barat, namun antrean sampel membuat hasil uji tak bisa cepat keluar.
Menghadapi situasi ini, Dinas Kesehatan Garut memperketat pengawasan dapur penyedia makanan MBG. Melalui Pelatihan Keamanan Pangan Siap Saji (KPSS), dapur-dapur yang tergabung dalam Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diwajibkan mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Kabid Kesehatan Dinkes Garut, dr. Tri Cahyo, menegaskan sertifikasi tersebut bukan formalitas belaka, melainkan syarat mutlak agar dapur relawan layak menyajikan makanan bagi ribuan penerima MBG.
“Minimal 50 persen kru dapur harus ikut pelatihan KPSS. Kepala dapur dan ahli gizi wajib hadir. Kalau tidak, mereka tidak bisa dapat SLHS,” kata Tri, Kamis (1/10/2025).
Saat ini, pelatihan diikuti oleh perwakilan dari empat dapur relawan. Pekan depan, rencananya akan digelar di Pameungpeuk untuk empat dapur, di Malangbong untuk enam dapur, serta di Dinas Kesehatan untuk empat dapur lainnya.
Menariknya, Dinkes Garut juga mengungkap adanya tumpang tindih regulasi. Sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) pernah menggelar pelatihan serupa pada Juni 2025 dengan melibatkan 32 dapur SPPG. Namun, sertifikat dari kegiatan itu ternyata tidak diakui Kementerian Kesehatan karena kurikulum pelatihannya dinilai tidak sesuai standar keamanan pangan.
“Judulnya pelatihan keamanan pangan, tapi materinya tidak sesuai kurikulum Kemenkes. Bahkan pesertanya campur, ada dari Dinas Pendidikan dan Lingkungan Hidup. Padahal mestinya fokus ke aspek pengolahan makanan, penyimpanan, distribusi, sampai higienitas tenaga pengolah,” ungkap Tri.
Dinas Kesehatan kini mendorong keterlibatan Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) dalam mengawal pelatihan ini. Menurut mereka, pengawasan keamanan pangan tidak bisa hanya diserahkan kepada dinas teknis, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama, terutama di wilayah rawan kasus.
“Kalau ada kejadian keracunan, Forkopimcam di lapangan yang pertama tahu. Maka mereka harus ikut mengawal,” tambah Tri.
Dengan kasus keracunan yang terus menghantui, pelatihan KPSS diharapkan menjadi pagar pertama agar dapur relawan penyaji makanan MBG benar-benar higienis, aman, dan tidak lagi menjadi sumber penyakit massal. (Az)