TASIKMALAYA | Priangan.com – Hujan deras yang mengguyur wilayah Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Senin (29/9) dini hari, kembali menghadirkan bencana. Tebing setinggi 30 meter di Kampung Cikuda Maleer, Desa Pusparaja, ambruk dan menutup total badan jalan. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 03.00 WIB, membuat warga terbangun karena suara gemuruh tanah yang runtuh. Meski tidak menelan korban jiwa, dampaknya sangat besar karena jalur utama yang menghubungkan Desa Pusparaja, Nangtang, Puspamukti, dan pusat Kecamatan Cigalontang lumpuh total.
Material longsor menutupi badan jalan sepanjang 25 meter dengan lebar tiga meter dan ketebalan tanah mencapai lima meter. Kondisi itu membuat kendaraan sama sekali tidak bisa melintas. Semua aktivitas terhenti, mulai dari akses warga ke pasar, distribusi hasil pertanian, hingga perjalanan anak sekolah. Sementara itu, kendaraan roda empat terpaksa memutar jauh melalui jalur alternatif ke Kecamatan Salawu, sedangkan pengendara motor mencoba melewati jalan kecil Babakan Sawah meski kondisinya sempit dan berbahaya.
Camat Cigalontang, Dedi Herniwan, mengatakan intensitas hujan tinggi dalam beberapa hari terakhir menjadi pemicu utama longsor. “Kejadian itu sekitar pukul tiga dini hari. Jalan tertutup total, baik kendaraan maupun pejalan kaki tidak bisa lewat. Warga hanya bisa memutar ke jalur alternatif, itu pun jauh dan memakan waktu lama,” ujarnya. Ia menegaskan jalur yang tertutup longsor merupakan akses vital yang sehari-hari dipakai ribuan warga.
Sejak pagi, tim gabungan dari BPBD, TNI, Polri, Tagana, dan warga sekitar langsung berjibaku membersihkan material longsor. Namun upaya itu tidak berjalan cepat karena tebalnya timbunan tanah. “Evakuasi sudah kami lakukan, tapi dengan alat manual jelas tidak akan cukup. Kami masih menunggu kedatangan ekskavator agar jalan bisa lebih cepat dibuka,” kata Dedi.
Warga yang terdampak mengaku pasrah sekaligus cemas. Mereka berharap jalan segera bisa dibuka karena kondisi terisolasi sangat menyulitkan kehidupan sehari-hari. Seorang warga, Agus (45), mengatakan bahwa jalan itu menjadi nadi utama pergerakan masyarakat. “Kalau ditutup begini, kami sangat repot. Mau ke pasar susah, hasil bumi juga tidak bisa dibawa keluar. Mudah-mudahan pemerintah cepat turunkan alat berat supaya jalan bisa dibuka,” ungkapnya.
Kecemasan juga dirasakan warga lain, Yayah (39), yang setiap hari harus mengantar anaknya ke sekolah. “Biasanya lewat jalan itu cuma sepuluh menit, sekarang harus mutar hampir satu jam. Anak-anak jadi sering telat masuk sekolah,” keluhnya.
Selain terisolasi, warga juga diliputi ketakutan akan kemungkinan longsor susulan. Apalagi hujan deras diperkirakan masih terus turun dalam beberapa hari ke depan. Pemerintah kecamatan mengimbau masyarakat agar tetap siaga dan menjauhi area rawan.
Hingga sore hari, jalan yang tertimbun masih belum bisa digunakan, dan seluruh aktivitas warga di empat desa tetap terganggu. Bagi masyarakat pedesaan yang bergantung penuh pada jalur tersebut, longsor ini menjadi bukti rapuhnya infrastruktur di daerah pegunungan yang setiap saat bisa lumpuh oleh bencana alam. (yna)