JAKARTA | Priangan.com – Berawal dari momen bersejarah pada 27 hingga 28 Oktober 1928 di Batavia, semangat Sumpah Pemuda menjadi titik balik kebangkitan generasi muda Indonesia. Di tengah arus perjuangan itu, muncul sosok perempuan yang suaranya nyaring menembus sekat zaman, ia adalah Emma Poeradiredja. Ia lahir di Cilimus, Kuningan, pada 13 Agustus 1902, dan dikenal sebagai perempuan yang tak hanya vokal dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, tetapi juga menjadi pelopor emansipasi dan kesetaraan bagi kaum perempuan Indonesia.
Lahir dari keluarga menak, Emma memiliki kesempatan langka bagi perempuan di masanya, yakni akses terhadap pendidikan yang memadai. Dilansir dari Merdeka.com, Ia menempuh pendidikan di Hollandch Inlandsche School (HIS) Tasikmalaya antara tahun 1910 hingga 1917, lalu melanjutkan ke Meer Uitegebreid Lager Onderwijs (MULO) di Bandung sampai 1921.
Sejak remaja, tepatnya pada usia 16 tahun saat duduk di bangku kelas satu MULO, Emma sudah aktif berorganisasi. Ia tergabung dalam Bond Inlandsche Studeerenden (BIS) dan tak lama kemudian bergabung dengan Jong Java, organisasi yang memperkenalkannya pada gagasan-gagasan kebangsaan dan kesetaraan dari para tokoh pergerakan nasional. Pada tahun-tahun berikutnya, Emma juga aktif di Paguyuban Pasundan, organisasi yang meskipun bernama lokal, namun memperjuangkan cita-cita nasional Indonesia.
Tahun 1925 menjadi titik penting dalam perjalanan aktivismenya. Ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB), dan setahun kemudian dipercaya menjadi ketua cabang JIB Bandung, bahkan memimpin organisasi kepanduan National Islamieten Padviderij (Natipij) yang bernaung di bawah JIB.
Di usia 26 tahun, Emma menjadi salah satu perempuan pertama yang memimpin organisasi kepemudaan Islam yang anggotanya didominasi laki-laki, ini menjadi sebuah capaian luar biasa di tengah budaya patriarki dan keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan. Keberaniannya memimpin di ruang publik yang lazimnya dikuasai laki-laki menjadikannya perintis kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Perjalanan Emma berlanjut dengan kiprahnya di dunia pergerakan nasional. Ia turut hadir dan berpartisipasi dalam Kongres Pemuda I tahun 1926 dan Kongres Pemuda II tahun 1928. Dalam forum bersejarah itu, Emma menjadi salah satu dari enam perempuan yang terdaftar sebagai peserta kongres, bersama nama-nama seperti Dien Pantow, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari.
Di antara para perempuan hebat itu, hanya tiga yang berpidato di depan kongres, dan Emma adalah salah satunya. Di hadapan para pemuda dari berbagai daerah, ia berbicara lantang mengenai peran perempuan sebagai bagian penting dalam perjuangan bangsa, menegaskan bahwa kemajuan Indonesia tak bisa lepas dari keterlibatan perempuan. Pandangannya yang progresif ini turut membentuk arah baru bagi gerakan perempuan Indonesia.
Dari semangat itulah, Emma bersama sejumlah perempuan muda lainnya mendirikan organisasi Dameskring pada tahun 1926 di Bandung. Organisasi ini terdiri dari perempuan-perempuan terpelajar dari berbagai suku bangsa di Indonesia, berusia antara 17 hingga 23 tahun. Tujuannya untuk membina kepemimpinan perempuan agar mampu berkontribusi nyata dalam perjuangan kemerdekaan.
Dua tahun kemudian, Emma mendirikan Pasundan Istri (PASI), organisasi perempuan yang memperjuangkan hak politik perempuan untuk dipilih dan memilih, sebuah ide yang sangat revolusioner pada masa itu. Lewat organisasi ini pula, ia terus menggaungkan semangat kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, menjadikannya salah satu pionir gerakan feminisme di Indonesia.
Di luar kiprahnya di dunia organisasi, BincangMuslimah menjelaskan bahwa Emma juga menunjukkan dedikasi luar biasa dalam dunia kerja. Sejak tahun 1922, ia bekerja di Jawatan Kereta Api, sebuah bidang yang kala itu dianggap sebagai dunia laki-laki. Ia berhasil membuktikan bahwa perempuan mampu berkompeten di ranah yang dianggap tidak untuknya, sekaligus menembus batas sosial kolonial yang menempatkan pribumi sebagai warga kelas dua. Keteguhannya bekerja di Jawatan Kereta Api berlangsung hingga tahun 1959, menjadikannya simbol ketekunan dan integritas.
Besar rasa cintanya pada bangsa membuatnya terus berjuang bahkan setelah kemerdekaan diraih. Pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1948, Emma ditangkap oleh tentara Belanda di kediaman Ir. Djuanda di Yogyakarta karena menolak kembali bekerja di kantor Kereta Api milik Belanda di Bandung. Sebelumnya, ia telah diungsikan ke Garut, Gombong, hingga Yogyakarta untuk menghindari pendudukan Belanda.
Yang menarik, gagasan-gagasan Emma dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan selalu berpijak pada kearifan lokal Sunda. Ia menggunakan pendekatan budaya untuk menegaskan peran penting perempuan dalam kehidupan masyarakat. Ia sering menyinggung kisah “Wawacan Sulanjana,” yang menceritakan asal-usul padi dari perempuan, sebuah simbol bahwa perempuan adalah sumber kehidupan.
Dalam masyarakat Sunda, ia juga menyoroti bagaimana istri sering menjadi penentu keputusan bagi suami, tercermin dalam ungkapan “abdi mah kumaha bojo” yang berarti “saya mah tergantung istri.” Bahkan dalam adat tutur, penyebutan “Ibu/Bapak” yang mendahulukan kata “Ibu” dibanding “Bapak” menjadi bukti simbolis penghargaan terhadap peran perempuan dalam budaya Sunda.
Sepanjang hidupnya, Emma Poeradiredja tidak pernah berhenti berjuang. Ia adalah aktivis, pekerja sosial, tokoh emansipasi, dan politisi yang mengabdikan hidupnya bagi kemajuan bangsanya. Ia tercatat sebagai perempuan pribumi pertama yang menjadi anggota Dewan Kota Bandung (Gemeenterad) pada tahun 1938 hingga 1942, sekaligus menjadi Ketua Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938 di Bandung, kongres yang kemudian melahirkan peringatan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember.
Pada tahun 2017, namanya diabadikan dalam Museum Sumpah Pemuda sebagai salah satu tokoh perempuan pelopor pergerakan nasional. Dari ruang sejarah itu, semangatnya terus hidup, mengingatkan bahwa kemerdekaan tidak hanya diperjuangkan oleh senjata dan politik, tetapi juga oleh keberanian seorang perempuan yang memilih untuk bersuara, berjuang, dan berdiri sejajar demi tanah airnya. (LSA)

















